• Share
  • GADGET
    Diberdayakan oleh Blogger.

    Senin, 28 Mei 2012

    KONSEP ‘ADÂLAH SAHABAT


    KONSEP ‘ADÂLAH SAHABAT:

    Studi Kedudukan Abu Hurairah dalam Periwayatan Hadis

    DR. Ardiansyah, M.Ag dan Budi Juliandi, MA*
    Abstrak
    This article discusses the concept of ‘Adâlah Sahabah in narrating the tradition of the Prophet (p.b.u.h) with special reference to Abu Hurairah. It assumes that the critiques that come from various sects toward the Prophet’s companions imply that the study about them  is very important issue and has been discussed by every generation.  Abu Hurairah ra in particular, has received various critique on his personality. Some scholars saw him as a lazy and fabricator, while the other honored him as the pioneer for disseminating the tradition of the Prophet (p.b.u.h). Perhaps, only ‘Ajjâj al-Khatîb, as it is described in this article, who took the middle path of the two contentious poles in describing Abu Hurairah ra.
    Kata Kunci : Keadilan Sahabat, Abu Hurairah, Periwayatan hadist.

    A.    Pendahuluan

    Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’ân mulai mendapatkan perhatian yang cukup besar di kalangan ulama klasik sejak abad II H. Hal ini disebabkan kedudukannya yang sangat strategis yaitu sebagai al-bayân (penjelas) bagi ayat-ayat suci al-Qur’ân dan sekaligus membawa hukum tersendiri. Sedemikian pentingnya sampai-sampai al-Imam al-Auzâ‘î (w. 157 H) menyatakan bahwa “Jika dihayati dengan seksama, maka al-Qur’ân lebih membutuhkan Sunnah dibandingkan dengan kebutuhan Sunnah terhadap Alquran”.[1]Dalam hamlu al-hadîts wa al-adâ’, peranan para sahabat sangat penting, sebab mereka adalah perantara bagi generasi selanjutnya dari setiap perbuatan, perkataan dan persetujuan Nabi saw. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka seperti tabi‘in. Hal ini pula yang mendorong mereka untuk menyebarnya ke wilayah-wilayah yang telah dikuasai umat Islam pada saat itu.[2]
    Setiap Hadis terdiri dari dua bagian penting yaitu sanad dan matan. Matan adalah kandungan hadis yang berisikan sabda Nabi saw, sementara sanad adalah rentetan nama yang meriwayatkan hadis dimulai dari tingkatan sahabat.[3] Kedua unsur penting tersebut harus memenuhi kriteria yang telah disepakati oleh ahli Hadis agar dapat memenuhi kreteria hadis shahîhsebagaimana dibahas dalam ilmu mushthalah al- hadîts. Sebagaimana yang telah dinyatakan di atas bahwa sahabat adalah awal dari mata rantai sanad suatu hadis maka jika awal mata rantai itu rusak atau terputus, maka akan rusak dan berantakan mata-mata rantai selanjutnya. Hal inilah yang menjadikan permbahasan tentang ke-‘adâlah-an sahabat menjadi pembahasan yang penting sekaligus menarik untuk dikaji ulang sebagai proses tabaiyun.
    Di samping itu, kedudukan Abu Hurairah sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis memunculkan pertanyaan lain yang berkaitan dengan pembahasan ke‘adalahan sahabat ini. Sebab, kehidupannya yang relatif singkat bersama Nabi saw jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat besar lainnya seperti Abu Bakr ra, Umar ra, Utsman ra dan ‘Ali bin Abi Thalib ra, membuat permasalahan ini semakin menarik untuk dibahas. Abu Hurairah juga pernah berseteru dengan Khalifah Umar bin Khattab pada masa itu, karena ia mengajarkan hadis kepada masyarakat luas. Umar pernah melarang bahkan menangkap dan menghukumnya karena ia tetap mengajarkan hadis-hadis Nabi saw karena alasan tertentu. Fakta ini menjadikan pembahasan yang berkaitan dengan pribadi Abu Hurairah semakin menarik untuk dikaji guna “menguak” sisi kontroversial dari sejarah kehidupannya.

    B.    Urgensi Kritik Sanad

    Untuk mengetahui kondisi suatu hadis maka dibutuhkan kritik hadis. Perlu kiranya untuk mempertanyakan apakah suatu hadis benar-benar berasal dari Nabi saw atau bukan. Berarti, sasarannya adalah dokumen dan teks sumber yang menginformasikan tentang hadis-hadis  Nabi saw tersebut. Jika diteliti lebih lanjut maka kritik hadis memiliki persamaan dengan penelitian sejarah, yakni sama-sama berupaya meneliti sumber dalam rangka memperoleh data yang autentik dan dapat dipercaya.
    Dalam metode sejarah, terlebih dahulu sumbernya harus diteliti sebelum data digunakan. Sumber data, dilihat dari sifatnya ada dua, yaitu sumber primer dan sekunder. Sementara, penelitian pada sumber tersebut ada dua macam; kritik ekstern dan kritik intern. Berkaitan dengan penelitian Hadits Nabi saw, kritik yang ditujukan pada sanad (perawi) atau naqd as-sanad adalah kritik ekstern dalam ilmu sejarah atau naqd al-hadîts al-kharijî, an-naqd azh-Zhâhri; dan kritik pada matan (naqd al-matn), disebut juga kritik intern dalam ilmu sejarah(an-naqd ad-dâkhilî, an-naqd al-bathinî). Jadi, kritik Hadits Nabi saw. itu terbagi menjadi dua aspek atau segi, yakni segi sanad dan segi matan.
    Sanad adalah penjelasan tentang jalan yang menyampaikan kita pada materi hadis. Untuk menentukan kualitas suatu hadis, kedudukan sanad adalah sangat penting sekali. Sekalipun terdapat suatu pernyataan yang baik dan bernilai, namun jika sanadnya cacat karena terdapat rawi yang tidak jujur atau pelupa maka hadis itu menjadi berkurang kesahihannya. Bahkan bisa saja menjadi hadis da’if (lemah) yang tidak dapat dijadikan landasan sama sekali. Oleh karena itu, para ulama sangat intens memperhatikan sanad suatu hadis. Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H) mengatakan bahwa, “sanad (al-isnâd) itu bagian dari agama, jika sanad itu tidak ada, niscaya siapapun dapat mengatakan apapun yang dikehendakinya”. Imam Az-Zuhri dan ats-Tsaurî juga mengatakan hal yang sama tentang pentingnya sanad. Dikatakan az-Zuhri,” apakah engkau akan menaiki langit tanpa tangga?”, sedangkan ats-Tsauri, “sanad itu senjata orang mukmin, jika tidak ada, bagaimana bisa membunuh?”[4]
    Dari paparan singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dapat dikatakan memiliki sanad yang kuat jika; pertama, perawi bersifat ‘adil dan hafal dengan baik hadits yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits yang dihafalnya kepada orang lain. Kedua unsur inilah yang akan diterapkan dalam menilai kedudukan Abu Hurairah daam periwayatan hadis.

    C.    Perkembangan Kodifikasi Hadis

    Sahabat memiliki peranan penting dalam periwatan hadis. Mereka adalah generasi pertama yang menerima langsung hadis-hadis Nabi saw. Dengan demikian pembahasan tentang jati diri mereka serta peranan mereka dalam mengemban penyebaran hadis menjadi sangat menarik untu dikaji. Selain daripada itu, kodifikasi hadis Nabi saw mengalami perjalanan sulit dan tidak seperti layaknya al-Qur’ân. Sebab, pada masa Nabi saw, sempat dilarang penulisan hadis dengan berbagai alasan antara lain; takut bercampur dengan al-Qur’ân dan dikhawatirkan perhatian para sahabat menjadi terpecah. Permasalahan ini semakin tidak sederhana, karena pemalsuan hadis semakin merebak dan banyak sahabat yang terbunuh di medan perang. Beragamnya pandangan kibâr ash-Shahâbah pun menjadikan permasalahan kodifikasi hadis semakin berat. Umar bin Khattab misalnya, pernah melarang Abu Hurairah untuk mengajarkan hadis dan mendiktekannya kepada para tabi’in. perseteruan ini sempat memanas, dimana akhirnya Abu Hurairah sempat ditahan dan dilarang mengajar.
    Barulah pada masa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz (w. 101 H) kodifikasi hadis mendapatkan persetujuan resmi dari seorang khalifah. Sejak itu pula kodifikasi hadis dilakukan secara resmi dan besar-besaran. Dari hasil “rekap” itulah diketahui bahwa diantara sekian banyak sahabat yang meriwayatkan hadis, ternyata Abu Hurairah adalah sahabat terbanyak meriwayatkannya. Pada masa berikutnya mencuatlah kritikan atas kedudukan Abu Hurairah sebagai periwayat hadis Nabi saw terbanyak. Hal ini dikarenakan ia memeluk Islam beberapa tahun sebelum wafatnya Nabi saw. Selain itu, Abu Hurairah bukanlah sahabat yang tergolong intelektual layaknya seperti Usman bin ‘Affan dan Ubai bin Ka’ab. Sehingga kecurigaan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya menjadi suatu yang tak terhindarkan. Penelitian dilakukan bukan saja oleh sarjanawan muslim, akan tetapi juga dari kalangan non-muslim. Beragam kesimpulan coba dikemukakan dari masin-masing kubu. Kritikan tidak saja diarahkan atas kemampuan Abu Hurairah akan tetapi sampai menjurus kepada jati dirinya. Abu Raiyah misalnya, menyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berdusta. Pernyataannya itu didasarkannya kepada perseteruan yang terjadi antara Abu Hurairah dengan ‘Aisyah ummul mukminin. Dalam perseteruan itu ‘Aisyah mengatakan bahwa Abu Hurairah “kadzaba” (telah berdusta). Namun, Ibnu Hajar (w. 852 H) salah seorang ahli hadis terkemuka berpendapat bahwa dalam bahasa ahlu hijaz (Madinah) kata-kata seperti itu kerap digunakan untuk menunjukkan bahwa orang yang dimaksud benar-benar telah salah, dan bukan berarti bahwa orang itu berdusta.[5]
    Pada masa Nabi, hadis disebarkan dari mulut ke mulut (teori hafalan). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, adanya larangan menulis hadis oleh Nabi saw. karena takut bercampur dengan ayat-ayat al-Qur’ân. Kedua, minimnya kemampuan para sahabat, dan bangsa Arab secara umum, dalam tulis-baca serta minimnya alat tulis pada masa itu. Ketiga, ditakutkan perhatian sahabat akan terbagi-bagi dengan adanya hadis, sehingga al-Qur’ân tidak terjaga dengan baik. Namun, menurut sebagian ulama bahwa larangan penulisan hadis ini tidak bersifat umum, sebab ditemukan sebagian sahabat yang memiliki kemampuan menulis seperti ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Bakr ash-Shiddîq, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thâlib, dan Jâbir bin ‘Abdillah al-Anshârî mencatat hadis-hadis yang mereka dengar dari Nabi. Hanya saja catatan ini bersifat individual dan untuk kepentingan pribadi saja. Hal ini menunjukkan bahwa hadis bukan tidak tercatat sama sekali pada era Nabi, akan tetapi terbatas dan untuk kepentingan pribadi. Penulisan pada masa ini kemudian dikenal dengan istilah “shahîfah” (lembaran catatan).[6]
    Pada masa Khulafâ’ ar-Râsyidin (11-40 H), keberadaan hadis/sunnah masih dapat dipertahankan, karena para sahabat yang merupakan syuhûd al-a‘yân (saksi-saksi mata) dari kehidupan beliau masih banyak dan belum terpencar-pencar. Bahkan pada masa ini terjadi pembatasan terhadap penulisan dan periwayatan hadis. Sebab, para sahabat lebih terfokus kepada pembukuan al-Qur’ân. Namun, setelah terjadi “ekspansi” umat Islam ke berbagai wilayah serta mulai bermunculannya fitnah (perpecahan) dalam tubuh umat Islam yang berakibat kepada munculnya hadis-hadis palsu, maka kebutuhan kepada kodifikasi hadis semakin mendesak. Para sahabat besar mulai wafat satu-persatu dan kecenderungan untuk menhafal hadis mulai berkurang di kalangan umat Islam juga merupakan faktor lain yang mendesak dibukukannya hadis-hadis Nabi dalam sebuah catatan khusus.
          Pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz (99-101 H), khalifah kedelapan dari dinasti bani Umaiyah, ia menginstruksikan kepada sejumlah ulama seperti ‘Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, gubernur Madinah, (w. 117 H) dan Muhammad bin Syihâb az-Zuhrî (w. 124 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghafalnya. Usaha kodifikasi ini dilatar belakangi oleh tiga hal pokok; pertama, kekhawatiran akan hilangnya hadis-hadis tersebut bersamaan dengan meninggalnya para sahabat dan ahli-ahlinya. Faktor ini adalah faktor utama, sebab ulama dan ahli-ahli hadis pada masa itu bukan sekedar mengajarkan ilmu agama, namun mereka juga pejuang-pejuang yang turun ke medan perang. Kedua, kekhawatiran akan bercampurnya antara hadis-hadis yang sahih dengan yang palsu. Ketiga, kemampuan para tabi’in dan umat Islam saat itu yang mulai berkurang dalam menghafal hadis-hadis Nabi saw., sehingga jelas sangat membutuhkan usaha kodifikasi ini.[7]

    D.   Pengertian Sahabat

    Secara etimologis kata sahabat berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamakdari kata shâhibun ( صاحِب ) yang bermakna selalu menyertai dan menemani.[8]Dengan demikian “sahabat” menurut akar katanya berarti orang yang selalu menyertai dan menemani orang lain, yang kemudian dalam penggunaan musthalah hadis dimaksud khusus para sahabat nabi. Dalam menetapkan batasan dan sekaligus kreterianya, para ulama berbeda pendapat. Berikut ini beberapa pendapat tersebut:
    1.     Imam Ahmad bin Hanbal (w. 240 H), Imam al-Bukhârî (w. 256 H), Ibnu ash-Shalâh (w. 643 H), dan mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa sahabat adalah: setiap orang yang melihat Nabi saw. dari kalangan umat Islam walau sesaat.[9]
    2.    Al-Wâqidi (w. 207 H) berpendapat sebagaimana yang ia nukil dari beberapa ulama bahwa sahabat adalah setiap orang yang bertemu dengan Nabi saw. walau sesaat, kemudian masuk Islam dan telah balig, sehingga ia mengerti permasalahan agama dan dapat mentaatinya.[10] Namun, pendapat terakhir ini dibantah oleh al-Irâqi dengan menyatakan bahwa syarat baligh yang terdapat pada defenisi tersebut janggal (syâdz). Karena dengan syarat tersebut akan mengeluarkan banyak sahabat yang bertemu dengan Nabi saw. dan mereka belum mencapai usia balig seperti  Mahmûd bin ar-Rabi‘ ra. (seorang sahabat yang disembur mukanya dengan air oleh Nabi saw. pada saat ia berumur lima tahun),  Ibnu‘Abbâs ra., Hasan ra. dan Husain ra.[11]
    3.     Menurut Ibnu Hazm (w. 456 H) sahabat adalah orang yang pernah duduk bersama Nabi walau sesaat, mendengar darinya walau sepatah kata, atau menyaksikan darinya satu perkara dalam kondisi sadar, dan tidak termasuk orang munafik yang kemunafikanya diketahui sampai ia mati. [12]
    4.    Pendapat yang dinisbahkan kepada Sa‘îd bin Musaiyab bahwa sahabat adalah orang yang bersama-sama Nabi saw. satu atau dua tahun dan ikut dalam peperangan bersamanya. Akan tetapi pendapat ini juga tidak kuat, karena pada periwayatannya terdapat Muhammad bin ‘Amru al-Wâqidî ia adalah seorang yang lemah[13]. Dengan pendapat ini akan lebih banyak lagi orang-orang yang tidak termasuk dalam kategori sahabat.
    5.     Menurut Utsmân Shaleh sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddiqiey, sahabat adalah orang yang hidup pada masa Nabi saw. walaupun ia tidak melihatnya dan  memeluk Islam semasa Nabi.[14] Namun, pendapat ini terlalu meluas sehingga mencakup orang yang murtad setelah wafat Nabi saw. dan begitu juga al-Mukhadhram [15] yaitu orang-orang Muslim yang hidup pada masa Nabi saw. tapi tidak bertemu dengan beliau. Dengan demikian pendapat ini lemah dan keluar dari pendapat kebanyakan ulama.
    6.    Menurut Hasbi Ash Shiddiqiey, sahabat adalah orang yang ada persahabatan dengan Nabi, persahabatan yang mesra yang timbul dari keimanan dan ketaatan. Maka, orang yang mempunyai shuhbah (perkawanan dan penyertaan) yang erat dengan Nabi, seperti Jarîr al-Bajalî, walaupun tidak lama, dapat dikatakan sahabat.[16]
    7.    Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 H) sahabat adalah:
    الصَّحَابِي: مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ مُؤْمِناً بِهِ، وَماَتَ عَلَى الإِسْلاَمِ ؛ فَيَدْخُلُ فِيْمَنْ لَقِيَهُ مَنْ طَالَتْ مُجَالَسَتُهُ لَهُ أَوْ قَصُرَتْ، وَمَنْ رَوَى عَنْهُ أَوْ لَمْ يَرْوِ، وَمَنْ غَزَا مَعَهُ أَوْ لَمْ يَغْزُو، وَمَنْ رَآهُ رُؤْيَةً وَلَوْلَمْ يُجَالِسُهُ، وَمَنْ لَمْ يَرَهُ لِعَارِضٍ كَالْعُمْىِ.
    “Sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw pada masa hidupnya dan beriman kepadanya serta meninggal dalam keadaan Islam. Maka dengan demikian termasuklah orang-orang yang bertemu Nabi saw walau dalam waktu yang singkat. begitu juga dengan orang yang pernah meriwayatkan suatu hadis daripadanya ataupun tidak, berperang bersamanya atau tidak, dan orang yang tidak dapat melihatnya karena sesuatu hal seperti buta.[17]
    Pendapat terakhir ini, lebih râjih (kuat) dari pada pendapat sebelumnya, hal ini karena pendapat tersebut mencakup seluruh yang termasuk dalam kategori sahabat (jâmi‘), dan mengeluarkan selain mereka (mâni‘). Hal ini dapat dilihat bahwa seorang sahabat haruslah beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi selama hayatnya, jika ia murtad setelah wafat Nabi maka status sahabatnya hilang. Hal ini menjadi penting karena banyaknya fitnah setelah wafat Nabi saw. Pendapat terakhir ini mencakup pendapat pertama dan kedua yang merupakan pendapat mayoritas ahli hadis.

    E.    Pendapat Ulama tentang Ke‘adalahan Sahabat

    Telah disinggung pada pembahasan terdahulu bahwa sahabat adalah orang yang langsung mendengar dan menyaksikan kehidupan Nabi saw walau sesaat. Oleh sebab itu, ke-adâlah-an mereka dalam periwayatan Hadis menjadi sangat diperhitungkan. Karena mereka adalah sumber dan awal proses periwayatan dari suatu hadis. Namun sebelum lebih lanjut pembahasan ini menguraikan pendapat ulama tentang ke-adâlah-an mereka, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian ‘adâlah menurut terminologi ulama hadis.
    Al-‘adâlah berasal dari kata al-adlu atau dalam bahasa Indonesia selalu kita jumpai kata adil, yang berarti orang yang dapat diterima perkataan dan hukumnya, atau lawan kata dari al-jaur (penyimpangan).[18] Adapun pengertiannya menurut ulama hadis adalah seorang muslim yang balig, berakal, bebas dari sifat fasik, dan perbuatan yang merusak moral (خوارم المروءة).[19] Namun, definisi ini tidak berarti bahwa orang yang adil itu mashum (terpelihara) dari perbuatan dosa. Hanya saja ketaatan yang ada pada dirinya lebih dominan, sehingga ia mampu menghindari dosa-dosa kecil dan menjauhi dosa besar dari dirinya. Dengan kata lain, zahirnya mencerminkan sifat-sifat yang baik dan bermoral. [20]
    Dalam mengkritisi dan menilai ke-adâlah-an sahabat, para ulama berbeda pendapat. Menurut aliran Mu‘tazilah seluruh sahabat adil kecuali mereka yang ikut memerangi Ali bin Abî Thâlib sebagai pemimpin yang sah pada saat itu. Oleh karena itu pula riwayat mereka tidak dapat diterima. Adapun pendapat Râfidhah(salah satu sekte dalam aliran Syi’ah)menyatakan bahwa seluruh sahabat kafir kecuali tujuh belas orang.[21] Menurut mayoritas ulama sunniseperti Imam Abû  Hanîfah (w. 150 H), Imam Mâlik (w. 179 H), Imam asy-Syâfi‘î (w. 204 H), Ibnu al-Madînî (w. 234 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), al-Bukhârî (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), dan Ibnu Taimiyah (w. 728 H) berpendapat bahwa seluruh sahabat adalah adil.[22] Pendapat terakhir ini yang lebih râjih disebabkan banyaknya dalil baik dari al-Qur’ân ataupun hadis Nabi saw yang menjelaskan kelebihan yang mereka miliki. Dalil-dalil tersebut antara lain adalah:
    (a) dari ayat al-Qur’ân seperti dalam  QS. al-Anfâl [8]:74 :
    šúïÏ%©!$#ur(#qãZtB#uä(#rãy_$ydur(#rßyg»y_urÎûÈ@Î6y«!$#tûïÉ©9$#ur(#rur#uä(#ÿrçŽ|ÇtR¨ršÍ´¯»s9'ré&ãNèdtbqãZÏB÷sßJø9$#$y)ym4Nçl°;×otÏÿøó¨B×-øÍur×Lq̍x.ÇÐÍÈ
     “ Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia”.

    Demikian juga dalam QS. at-Taubah [9]:100:
    šcqà)Î6»¡¡9$#urtbqä9¨rF{$#z`ÏBtûï̍Éf»ygßJø9$#Í$|ÁRF{$#urtûïÏ%©!$#urNèdqãèt7¨?$#9`»|¡ômÎ*Î/šÅ̧ª!$#öNåk÷]tã(#qàÊuurçm÷Ztã£tãr&uröNçlm;;M»¨Zy_̍ôfs?$ygtFøtrB㍻yg÷RF{$#tûïÏ$Î#»yz!$pkŽÏù#Yt/r&4y7Ï9ºsŒãöqxÿø9$#ãLìÏàyèø9$#ÇÊÉÉÈ
     “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.
    Selain itu, firman Allah SWT dalam QS. al-Fath [48]:18
    ôs)©9š_ÅÌuª!$#Ç`tãšúüÏZÏB÷sßJø9$#øŒÎ)štRqãè΃$t7ãƒ|MøtrBÍotyf¤±9$#zNÎ=yèsù$tBÎûöNÍkÍ5qè=è%tAtRr'sùspuZŠÅ3¡¡9$#öNÍköŽn=tãöNßgt6»rOr&ur$[s÷Gsù$Y6ƒÌs%ÇÊÑÈ
     “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.
    Pujian-pujian ini menegaskan keadilan yang ada pada diri sahabat secara umum. Demikian juga menjelaskan kelebihan sahabat dengan adanya rida Allah swt. dan janji kemenangan dunia dan akhirat (surga) bagi mereka. Pujian yang sedemikian banyak tentu tidak dapat diperoleh oleh sembarang orang, akan tetapi hanya orang-orang yang telah dipilih Allah swt. Selain itu, dijumpai juga pujian Allah swt. yang ditujukan kepada perorangan, seperti pujian Allah swt. terhadap Abu bakr ra. sebagaimana tertera pada QS. al-Lail [92]: 5-7.
    (b) Di dalam sabda Nabi saw. ditemukan larangan untuk mencaci-maki para sahabatnya, sebagaimana pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِي ، لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ *  (رَوَاهُ مُسْلِم)[23]
    Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sekali-kali kamu menghina sahabatku, janganlah sekali-kali kamu menghina sahabatku. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika sekiranya salah seorang diantara kamu menginfakkan hartanya sebesar gunung Uhud dari emas, maka tidaklah sama dengan pemberian mereka dan tidak pula setengahnya!
    Di samping itu, ditemukan pesan Nabi saw kepada umatnya untuk mengikuti jejak para sahabat setelah kepergiannya. Bahkan beliau menegaskan agar umatnya berpegang teguh kepada ajaran mereka terkhusus Khulafâ ar-Râsyidîn. Jika mereka tidak layak menerima amanat tersebut, Rasulullah saw. (yang perkataannya adalah wahyu Allah) tidak akan berpesan demikian. Pesan ini membuktikan kelayakan mereka menjadi panutan (uswatun hasanah) terhadap generasi setelah mereka dan sekaligus secara implisit menjamin ke‘adâlahan mereka.[24] Lebih lanjut Abu Zur‘ah ar-Râzî (w. 264 H) berpendapat bahwa orang yang berusaha merendahkan martabat sahabat Nabi adalah seorang zindîq. Karena orang tersebut pada dasarnya ingin mengacaukan dan menimbulkan keraguan di kalangan umat Islam terhadap al-Qur’ân dan Sunnah. Hal ini mereka mulai dari mencela sahabat yang merupakan mediator utama antara ajaran Nabi saw.[25]
    Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh sahabat ‘âdil dalam pengertian dapat dipercaya riwayatnya sebab mereka tidak pernah berdusta dengan sengaja atas nama Nabi Muhammad saw. Dugaan ini juga diperkuat dengan hadis mutawatir yang hampir dapat dipastikan bahwa setiap sahabat Nabi mengetahuinya yaitu:
    عَنِ الْمُغِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:  إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ   (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)[26]
    Dari Mughirah ra berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan yang lain, barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka!”
    Namun, perlu ditegaskan kembali bahwa ke‘adâlahan tidak menjamin mereka terlepas dari kesalahan dan kealpaan. Namun kesalahan yang mereka lakukan bukanlah hal yang disengaja akan tetapi merupakan hasil ijtihad. Selain itu, kesalahan juga mungkin saja terjadi dikarena lupa atau salah memahami informasi sebenarnya yang ia dengan dari sahabat lain. Kesalahan seperti ini tidaklah menjatuhkan kedudukan mereka sebagai sahabat. Namun, kesalahan itu harus dijelaskan hakikatnya sehingga tidak menimbulkan kesalah-pahaman.

    F.    Jumlah Sahabat Yang Meriwayatkan Hadis

    Tersebarnya para sahabat di daerah-daerah sekitar jazirah Arab menyebabkan tidak diketahui jumlah mereka secara pasti. Demikian juga tidak adanya catatan yang jelas yang menyebutkan jumlah mereka sampai wafatnya Nabi saw. Bahkan Ka‘ab bin Mâlik ra. menyatakan bahwa jumlah sahabat Nabi saw. sangat banyak tidak mungkin dikumpulkan dalam satu kitab.[27] Adapun jumlah sahabat yang ikut dalam haji Wadâ‘ sebanyak tujuh puluh ribu orang. Namun hal ini bukanlah jumlah keseluruhan sahabat. Karena ada sahabat yang lain yang tidak turut serta dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut. Sebagian ulama ada yang menyebutkan jumlah sahabat secara konkrit ketika wafatnya Nabi saw. antara lain adalah Abu Zur‘ah ar-Râzî (w. 264 H). Beliau menyatakan bahwa ketika Nabi saw. wafat jumlah para sahabat adalah seratus empat belas ribu orang yang terdiri dari ahli Makkah, Madinah, dan daerah diantara keduanya. Termasuk juga orang Baduwi yang hidup dipelosok-pelosok (al-A‘râb) dan mereka yang ikut haji Wadâ‘. [28]
    Namun dari keseluruhan jumlah sahabat yang tersebut di atas, sahabat yang terlibat dalam periwayatan Hadis Nabi saw. menurut ‘Ajjâj al-Khathîb hanya 539 orang saja dengan rincian sebagai berikut; 7 orang sahabat masing-masing meriwayatkan lebih dari seribu hadis, 11 sahabat masing-masing meriwayatkan lebih dari dua ratus, 21 sahabat masing-masing meriwayatkan lebih dari seratus, hampir seratus sahabat masing-masing meriwayatkan puluhan, lebih dari seratus sahabat masing-masing meriwayatkan sepuluh, dan kira-kira tiga ratus orang sahabat masing-masing meriwayatkan satu hadis saja. Mereka itulah yang terjamin ke-‘adâlah-annya.[29]
    Adapun tujuh sahabat yang tercatat paling banyak meriwayatkan hadis adalah sebagai berikut:
    1. Abu Hurairah (w. 59 H)                        : 5374 Hadis.
    2. Ibnu ‘Umar (w. 73 H)                            : 2630 Hadis.
    3. Anas Bin Malik (w. 93 H)                      : 2286 Hadis.
    4. ‘Aisyah (w. 58  H)                                 : 2210 Hadis
    5. Ibnu ‘Abbas (w. 68 H)                            : 1660 Hadis.
    6. Jabir bin Abdillah  (w. 78 H)                 : 1540 Hadis
    7. Abu Sa’id al-Khudri (w. 74 H)               : 1170 Hadis[30]

    G.   Studi Kritis terhadap Ke‘adâlahan Abu Hurairah (19SH–59H)
    Abu Hurairah adalah kunyah (panggilan), adapun namanya cukup banyak bervariasi, sedangkan yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti. Sebab, kebiasaan bangsa Arab yang lebih suka memanggil seseorang dengan kunyahnya atau dengan gelarnya. Penelitian para ulama menyimpulkan bahwa nama yang masyhur dan yang dianggap paling benar adalah ‘Abd ar-Rahmân bin Sakhar ad-Dausî al-Yamânî. Sebelum memeluk Islam, panggilan akrabnya adalah Abd Syams. Ketika masuk Islam Nabi saw. mengganti namanya dengan ‘Abd ar-Rahmân. Hal ini dikarenakan “‘abd asy-syams” berarti “hamba matahari” yang tidak baik menurut dalam pandangan Islam. Namun, kemudian ia lebih dikenal dengan kunyahnya yaitu “Abu Hurairah”.
    Panggilan ini bermula dari kebiasaannya dan sifatnya yang sangat menyukai kucing. Pada suatu ketika ia menemukan sekumpulan anak kucing ketika ia sedang mengembala kambing. Rasa iba mendorongnya untuk membawa anak-anak kucing tersebut ke rumahnya. Keesokan harinya orang-orang yang melintasi rumahnya terkejut dan merasa aneh mendengar suara riuh anak kucing. Sejak itu pula mereka memanggilnya dengan panggilan Abu Hurairah. Akan tetapi Nabi saw. memanggil dengan Abu Hirrin (dalam bentuk mudzakkar). [31]
    Abu Hurairah ra. adalah seorang sahabat Nabi yang terbanyak meriwayatkan hadis. Padahal ia memeluk Islam terhitung belakangan yaitu pada bulan Safar tahun ke 7 Hijriyah dan usianya ketika itu kira-kira tiga puluh tahun. Ia mengenal Islam dari salah seorang sahabat yang berasal dari sukunya, ad-Dausî, yang bernama ath-Thufail bin Amr. Sejak itu hingga wafat Nabi saw. (kira-kira empat tahun lebih) ia selalu mengabdikan dirinya kepada Nabi saw. dan masuk dalam ahli Suffah. Sehingga ia dapat mengumpulkan informasi yang aktual dan banyak dari langsung dari Nabi saw. [32]
    Disebabkan keislamannya yang terhitung belakangan, banyak ulama dan pakar baik Muslim atau pun non Muslim mempertanyakan otentisitas hadis-hadis yang diriwayatkan  oleh Abu Hurairah. Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis Nabi. Hal ini tentu menambah kecurigaan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya. Berbagai penilaian pun muncul kepermukaan menanggapi permasalahan ini. Ahmad Amîn[33] misalnya melihat bahwa sebagian sahabat seperti ‘Aisyah ra. dan Ibnu ‘Abbâs ra. mengkritik serta menyatakan bahwa dalam riwayat Abu Hurairah terdapat kadzib(dusta) dan meragukan kejujurannya, karena banyaknya jumlahriwayat yang ia hafal. Pandangan ini sama dengan apa yang pernah di sampaikan Ignaz Goldziher (w. 1921 M)[34] yang menyatakan bahwa banyaknya riwayat yang ia sampaikan dan hafalannya yang sangat kuat menimbulkan keraguan di kalangan orang-orang (sahabat dan tabi‘în) yang langsung mendengar darinya[35]. Bahkan Ab­ Raiyyah dalam kitabnya Adhwâ’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah menyebutkan bahwa Abu Hurairah ra. pernah berdusta atas nama Nabi dengan sengaja. Menurutnya, sebagian besar hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berasal dari sahabat yang lain, bukan ia dengar sendiri (mursal). Selain itu, ia juga suka meriwayatkan hadis dengan maknanya (bi al-ma‘na) bukan lafaznya yang kerap menimbulkan kesalahan dan permasalahan.[36]
    Pendapat lain, menyebutkan bahwa Abu Hurairah adalah seorang sahabat yang agung yang memiliki kepedulian yang besar terhadap hadis Nabi saw. Hal ini terbukti dengan banyaknya hadis yang beliau hafal dan ajarkan. Selain itu, setelah masuk Islam, ia mengabdikan dirinya kepada Nabi saw. dan bergabung dengan ahlu ash-Shuffah. sehingga ia mendapatkan berkah darinya yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama terkemuka seperti asy-Syafi‘î, Abu Shâlih as-Sammân, dan Muhammad bin ‘Amru bin Hazm [37].
    Kedua pandangan yang bertentangan di atas masing masing memiliki alasan dan fakta yang kuat. Untuk mencari jalan tengah dari kedua pendapat tersebut dibutuhkan terlebih dahulu untuk mendudukan permasalahan ini secara tepat. Adapun kekuatan hafalan dan banyaknya riwayat Abu Hurairah ra, sebagaimana yang disinggung oleh Ahmad Amîn dan Goldziher, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang aneh dan perlu untuk dipertanyakan. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:
    a.   Kebiasan atau tradisi menghafal di kalangan bangsa Arab pada saat itu yang sangat kental. Menghafal adalah suatu kebiasaan masyarakat Arab pada umumnya saat itu. Mereka terbiasa menghafal sya‘ir-sya‘ir yang ditulis oleh penyair kondang seperti Umru’ al-Qais. Terlepas dari itu, menghafal banyak riwayat hadis dari Nabi saw. bukanlah suatu yang sulit, karena para sahabat langsung melihat prakteknya dari Nabi saw. Sehingga lebih cepat melekat di benak dan lebih mudah menghafalnya.
    b.   Waktu yang luang, hal ini merupakan faktor lain yang memudahkan Abu Hurairah untuk menghafal dan mempelajari hadis-hadis Nabi saw. menurut Ibnu Qutaibah (w. 376 H), bahwa Abu Hurairah ra. tidak disibukkan dengan bertani atau berdagang di pasar. Oleh karena itu, beliau dapat mengikuti jejak Nabi saw. kemana pun beliau pergi. Dengan demikian, ia mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh sahabat yang lain, dan menghafal apa-apa yang tidak mampu dihafal oleh yang lainnya karena berbagai kesibukkan.[38]
    c.   Sejak masuk Islam Abu Hurairah bergabung dalam ahli Shuffah dan mengabdikan dirinya kepada Nabi saw. sehingga ia selalu bersama-sama dengan Nabi saw. Kondisi ini juga sangat membantunya untuk mengetahui dan menghafal banyak hadis.
    d.   Selain itu, tidak semua hadis yang disebutkan oleh Abu Hurairah langsung ia terima dari Nabi saw. akan tetapi beberapa ia dengar dari sahabat yang lain (Mursal Shahâbî ). Namun  menurut ulama Hadisperiwayatan seperti itu bukanlah pelanggaran.[39]
    e.   Do‘a Nabi saw. agar dikuatkan hafalannya. Abu Hurairah pernah mengadu kepada Nabi saw. atas kelemahan hafalannya, maka ia minta agar dido‘akan untuk dikuatkan hafalannya, dan Nabi pun mendo‘akannya sebagaimana dalam hadis berikut ini:
    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيْثاً كَثِيْرًا أَنْسَاهُ،  قَالَ:  أُبْسُطْ رِدَاءَكَ! فَبَسَطْتُهُ. قَالَ: فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ: ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيْتُ شَيْئاً بَعْدَهُ * (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)[40]
    Artinya: dari Abu Hurairah berkata: “Wahai Rasulullah, aku mendengar banyak hadis darimu, namun aku mudah sekali lupa. Rasulullah berkata:”Kembangkanlah selempangmu!”maka akupun membentangkannya. Kemudian beliau mengambilnya dengan kedua tangannya seraya berdo’a. sejak saat itu aku tidak pernah lagi lupa. (HR. al-Bukhârî)
    Faktor-faktor tersebut sangat memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk mampu menghafal dan menguasai hadis-hadis yang ia terima baik langsung dari Nabi ataupun dari sahabat lainya. Selain itu, penggunaan kata “كذب فلان ” antara sahabat  tidak dapat difahami sebagai pendustaan atau penipuan, akan tetapi lebih menunjukkan kepada kesalahan atau kekhilafan “ أخطأ فلان ”. Hal ini sesuai dengan keterangan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa: “Berdusta adalah suatu perbuatan yang sangat dibenci di kalangan sahabat”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa berdusta dalam segala bentuk sangat tidak disenang oleh para sahabat.[41] Jadi, dapatlah diterjemahkan tuduhan telah berdusta yang dinyatakan oleh sahabat terhadap Abu Hurairah sebagai bentuk koreksi atau sejenis teguran atas kesalahan bukan tuduhan sengaja berdusta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Abu Hurairah ra. mungkin saja salah dalam meriwayatkan hadis, apalagi terkadang ia meriwayatkan hadis yang ia dengar dari sahabat lain. Namun, untuk melakukan dusta dengan sengaja atas nama Nabi saw. merupakan jauh dari kemungkinan dan tidak terbukti, disamping ia adalah orang yang pernah mu‘âyasyah (hidup dan bergaul) bersama Nabi Muhammad saw.
    Selain itu, kritik lain yang dilontarkan oleh Abu Raiyyah terhadap kepribadian Abu Hurairah ra adalah banyaknya perbedaan pendapat yang  pada namanya. Lebih lanjut ia mempertanyakan bagaimana mungkin seorang yang masyhur dan terbanyak meriwayatkan hadis di kalangan sahabat tidak diketahui nama sebenarnya. Kemudian ia menambahkan, pada dasarnya kefakiranlah yang menyebabkan ia bergabung dalam ahli Shuffah dan mengabdi pada Nabi saw. untuk menghidupi dirinya, bukan didasari atas keikhlasan.[42] Lebih jauh ia memberikan gelar yang terkesan melecehkan sehingga menjatuhkan martabatnya dengan memberinya gelar “Syeikh al-Madhîrah” (orang tua rakus terhadap makanan yang bercampur susu dan daging).[43]
    Menanggapi kritikan ini, Syeikh Mushthafâ as-Sibâ‘î mengemukakan beberapa jawaban antara lain; pertama, tidak diketahuinya nama asli seseorang tidaklah menurunkan derajatnya dan tidak menjadikannya tidak diketahui sama sekali. Sebagaimana perbedaan pendapat juga terjadi dalam nama sahabat selain Abu Hurairah ra. Kedua, tidak diketahui nama Abu Hurairah secara pasti disebabkan ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah yang diberikan Nabi saw sehingga nama aslinya kurang dikenal, hal ini biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat Arab. Ketiga, sedangkan tuduhan berikutnya, berkaitan dengan ahli Shuffah, menurut Mushthafâ as-Sibâ‘î tuduhan itu tidak memiliki dalil yang kuat, hanya merupakan dugaan semata. Selanjutnya Mushthafâ menyatakan bahwa dugaan seperti itu muncul dari orang-orang yang tidak takut pada siksa Allah swt. Bahkan ia tidak malu karena mempermasalahkan kefakiran seorang sahabat, seakan-akan kemiskinan aib dan kekayaan merupakan kemuliaan, sehingga kemuliaan seseorang diukur dari banyak hartanya.[44]
    Permasalahan lain yang terkadang menimbulkan banyak perdebatan adalah di antara sahabat yang terkemuka seperti khulafâ’ ar-râsyidîn hanya sedikit sekali ditemukan riwayatnya apabila dibandingkan dengan riwayat Abu Hurairah. Abu Bakr ra. misalnya, Adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi saw. namun beliau hanya meriwayatkan sebanyak 142 hadis. Hal ini dapat dijawab, karena beliau wafat berdekatan dengan masa Nabi saw. menyebabkan ia tidak sempat untuk banyak mengajarkan hadis di tengah-tengah umat Islam sehingga hadisnya banyak dihafal.[45] Faktor lain adalah kesibukannya dalam urusan umat Islam pada saat itu. Sebagai khalifah yang dibebani amanah, waktu Abu Bakr lebih banyak terkuras pada masalah kenegaraan. Beberapa sahabat yang lain seperti Abu Hurairah ra, Abdullâh bin Umar ra dan Anas bin Mâlik ra tidaklah demikian halnya. Mereka selalu menyibukkan diri dengan menghafal dan mempelajari Hadis-hadis Nabi saw. dikarenakan mereka tidak mengurusi masalah pemerintahan.[46]
    Demikianlah beberapa kritikan yang dilontarkan atas Abu Hurairah ra. dari berbagai kalangan. Menurut Ali Musthafa Yaqub usaha yang muncul dari sebagian orang terhadap untuk melunturkan kredibilitas Abu Hurairah ra. adalah usaha untuk menolak sejumlah besar hadis Nabi saw. karena beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.[47] Apabila diperhatikan kritikan-kritikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sumber kritikan itu ada tiga hal: pertama, tidak faham atau tidak mau faham tentang kandungan al-Qur’ân dan Sunnah Nabi saw, sehingga kegelapan menyelimuti hati nurani mereka. Kedua, kurang teliti dalam melihat sejarah kehidupan para sahabat Nabi saw. Ketiga, buruk sangka terhadap para sahabat atau mungkin lebih tepat kekeliruan, sehingga apa yang telah mereka upayakan hilang dan musnah, seakan-akan tak berharga sedikitpun.

    H.   Kesimpulan

    Sahabat adalah generasi pertama yang menerima dan menyaksikan langsung sabda-sabda nabi Muhammad saw. Layaknya sebagai manusia, mereka memiliki pandangan hidup dan keinginan tersendiri, sehingga tidak terlepas dari kesalahan dan kealpaan. Sifat ‘âdil yang melekat pada mereka tidak berarti bahwa mereka ma’sum atau bebas dari dosa. Hanya saja perlu dicatat bahwa, mereka tidak pernah dengan sengaja berdusta dalam proses periwayatan hadis. Inilah yang dimaksud sebagai generasi yang terbaik diwariskan Nabi saw kepada generasi selanjutnya.
    Adapun kritik yang dilontarkan terhadap para sahabat oleh sejumlah aliran, menunjukkan bahwa kajian tentang sahabat sangat penting dan dibahas setiap generasi. Sorotan yang khusus diarahkan terhadap Abu Hurairah ra juga sangat bervariasi. Sebagian ulama melihatnya sebagai sosok pendusta dan pemalas, sementara sebagian lain mengagungkannya sebagai tokoh pertama yang memperjuangkan penyebaran hadis Nabi saw. Namun, pendapat ‘Ajjâj al-Khatîb merupakan jalan tengah dari kedua pendapat yang sangat berseberangan tersebut. ‘Ajâj berpendapat bahwa sahabat yang dapat diterima riwayatnya adalah para sahabat yang mu‘âyasyah (hidup) bersama Nabi saw. Sehingga kepribadiannya tertempa dan loyalitasnya terhadap Islam terjamin sudah, dan unsur-unsur tersebut ada pada Abu Hurairah. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama sebagai mana yang dipaparkan oleh Syeikh Mushthafâ as-Sibâ‘î.

    DAFTAR PUSTAKA


    Âbâd, Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhîm, ‘Aun al-Mabûd syarah sunan Abî Dâwûd, cet II (Beirut: Dâr Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1995)
    Âbâdî, Al-Fair­z, al-Qâmûs al-Muhîth, cet V, (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1996)
    Abu Raiyyah, Mahmud, Adhwâ’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, ttp)
    Adz-Dzahabî, Muhammad bin Ahmad Al-Imam, Siyar Alâm an-Nubalâ’, cet XI, (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1996)
    Akram Diyâ’ al-‘Umarî, Buhûts fî Târîkh as-Sunnah al-Musyarrafah, cet IV, (al-Madînah al-Munawwarah: Maktabah ‘Ulûm wa al-Hikam, 1984).
    Al- Gazâlî, Ab­ Hâmid, al-Musthashfâ fî ‘Ilmi al-Ush­l, cet I, (Beirut, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1993)
    Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar, al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, , cet I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995)
    Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar, Fath al-Bârî bi Syarhi Shahîh al-Bukhârî, cet II, (Kairo, Dâr ar-Rayyân, 1988)
    Al-‘Izzî, ‘Abd al-Munim al-‘Alî, Difâ‘ ‘an Abî Hurairah, (Beirut:Dâr al-Qalam, 1981)
    Al-Azhamî, Muhammad Diyâ’ ar-Rahmân, Dirâsât fî al-Jarah wa at-Tadîl, cet I, (Beirut: Maktabah al-Gurabâ’ al-Atsariyyah, 1995)
    Al-Azhamî, Muhammad Mushthafâ, Manhaj an-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn, cet III, (Maktabah al-Kautsar, 1990)
    Al-Andalûsî, ‘Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyyah, ttp)
    Al-Bagdâdî, Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali al-Khathîb, al-Kifâyah fî ‘Ilmi ar-Riwâyah, (Beirut: Dâr al-Kutub  al-‘Arabî, ttp)
    Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Abu Hurairah Râwiyah al-Islâm, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1987)
    Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, as-Sunnah Qabla at-Tadwîn,  cet V, (Dâr al-Fikr, Beirut, 1981)
    Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Memahami Ilmu Hadis; telaah metodologi dan literatur Hadis, penerjemah: Has Manadi, (Jakarta: Lentera Basritama,  2003)
    Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Mushthalâhuhu, cet III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975)
    Al-Mishrî, Jamâl ad-Dîn Muhammad bin Manzhûr al-Ifrîqî, Lisân al-‘Arab, cet I, (Beirut: Dâr Shâdir, 1955)
    Al-Mubârakpûri, Muhammad ‘Abd ar-Rahmân, Tuhfah al-Ahwazî syarah Jâmi  at-Tirmidzî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, ttp)
    Al-Wama, Mahrus, Studi Kritik Hadits Nabi saw: Metodologi Penelitian Hadits, alamat internet: http://www.fahminacirebon.com
    Amîn, Ahmad, Fajr al-Islâm, cet VII,  (Kairo: an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1959)
    An-Nawawî, Yahya bin Syaraf, al -Minhâj bi Syarhi Shahîh Muslim bin al-Hajjâj  (yang lebih dikenal dengan sebutan Syarah Shahîh Muslim), cet I, (Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995)
    Ash-Shiddiqiey, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, cet IV, (Semarang: PT Pustaka Rezeki Putra, 1999)
    As-Sakhâwî, Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmân, Fath al-Mugîts bi Syarhi Alfiyati al-Hadîts li al-‘Irâqî, (Kairo: Maktabah as-Sunnah, 1995)
    As-Shâlih,Shubhî, ‘Ulum al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, cet I, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1959)
    As-Sibâî, Mushthafâ, as-Sunnah wa Makânatuhâ fî at-Tasyrî al-Islâmî, cet IV, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1985)
    As-Suyûtî, Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abî Bakr, Tadrîb ar-Rawi fî Syarhi Taqrîb an-Nawawî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979)
    Ath-Thahhân, Mahmûd, Taisîr Mushthalah al-Hadîts, cet VIII, (ar-Riyâdh: Maktabah al-Ma‘ârif, 1987)
    Ibnu Katsîr, Ab­ al-Fidâ’, al-Bâits al-Hatsîts Syarah Iktishâr ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1994)
    Juynboll, G.H.A., The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Mosern Egypt, Edisi Indonesia: Kontroversi Hadis di Mesir, penerjemah Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 1999, cet I
    Sulthân, Mullâ ‘Ali al-Qârî ‘Ali bin,  Syarah Syarah Nukhbah al-Fikar fî Mushthalahât Ahli al-Atsar, Syirkah Dâr al-Aqram bin Abî al-Aqram, Beirut, ttp
    Ya‘qub, ‘Ali Mustafa, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, cet III.


    *Dosen Hadis Ahkam Fakultas Syariah IAIN SU/Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Langsa
    [1] Al-Imam asy-Syaukani Muhammad bin ‘Ali (w. 1250 H) Irsyâd al-Fuhûl, (Beirut; Maktabah Mushthafa al-Halabî, ttp) h. 33
    [2] Pembukuan Hadis sudah dimulai pada masa Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al- ‘Azîz (w. 101 H) dari dinasti Bani Umaiyah, akan tetapi‘ul­m al-hadîts baru muncul sebagai sebuah disiplin ilmu pada abad ke- 4 H, ditandai dengan munculnya buku “al-Muhaddits al-Fâshil Baina ar-Râwî wa al-Wâ‘î ” karya ar-Ramahurmuzî Ab­ Muhammad al-Hasan bin ‘Abd ar-Rahmân (w. 360 H). Lihat  Mullâ ‘Ali al-Qârî ‘Ali bin Sulthân  (w. 1014 H), Syarah Syarah Nukhbah al-Fikar fî Mushthalahât Ahli al-Atsar, Syirkah Dâr al-Arqam bin Abî al-Arqam, Beirut, ttp, hlm. 137. Lihat juga Mahmud ath-°ahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadîts, Maktabah al-Ma‘ârif, ar-Riyâdh, 1987, cet VIII, h. 11.
    [3] Lihat as-Suy­thî Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abî Bakr (w. 911 H), (kemudian disebut as-Suy­thî), Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawiy, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1979, cet. II, Jld. I, h. 40.
    [4] Muhammad Musthafa al-A’zami, Memahami Ilmu Hadis; telaah metodologi dan literatur Hadis, penerj: Has Manadi, (Penerbit Lentera Basritama: Jakarta;  2003), h. 71
    [5] Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 H), (kemudian disebut Ibnu Hajar), Fath al-Bârî bi Syarhi Shahîh al-Bukhârî,  Dâr ar-Rayyân, Kairo, 1988, cet. II, Jld. VII, h. 259
    [6]Ibid., h. 60
    [7] Mahrus el-Wama, Studi Kritik Hadits Nabi saw: Metodologi Penelitian Hadits, alamat internet: http://www.fahminacirebon.com
    [8] Lihat Jamâl ad-Dîn Muhammad bin Manzh­r al-Ifrîqî al-Mishrî (w. 771 H), (kemudian disebut Ibnu Manzh­r), Lisân al-‘Arab, Dâr Shâdir, Beirut, 1955, cet. I, Jld. I, h. 519. Lihat juga al- Fair­z Âbâdî (w. 817 H), al-Qâm­s al-Muhîth, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, 1996, cet. V, h.134.
    [9] Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 H), (kemudian disebut Ibnu Hajar), Fath al-Bârî bi Syarhi Shahîh al-Bukhârî,  Dâr ar-Rayyân, Kairo, 1988, cet. II, Jld. VII, h. 5.
    [10] Lihat Abu Bakr Ahmad Bin ‘Ali al-Khathîb al-Bagdâdî (w. 463 H), (kemudian disebut al-Khathîb al-Bagdâdî), al-Kifâyah fî ‘Ilmi ar-Riwâyah, Dâr al-Kutub al-‘Arabî, Beirut, 1985, cet. I, h. 69.
    [11]  Lihat Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmân as-Sakhâwî (w. 902 H), (kemudian disebut as-Sakhâwî), Fath al-Mugîts bi Syarhi Alfiyati al-Hadîts li al-‘Irâqî, Maktabah as-Sunnah, Kairo, 1995, cet I, Jld. IV, h. 84.
    [12] Lihat ‘Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalûsî (w. 456 H), al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmîyyah, Beirut, ttp, Jld. II, h. 86.
    [13]  Lihat al-Khathîb al-Bagdâdî, loc. cit.
    [14] Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, PT Pustaka Rezeki Putra, Semarang, 1999,h. 238.
    [15] Terminologi ini dikenal di kalangan ulama hadis, menurut mereka al-Mukhadhram  tidak termasuk dalam kategori sahabat Nabi saw. seperti: Abu Muslim al-Khaulânî, Sa‘ad bin Iyas asy-Syaibânî, al-Aswad bin Yazid an-Nakh‘î, Subail bin ‘Auf al-Ahmasî. Lihat as-Suyûthî (w. 911 H), op. cit, Jld. II, h. 238. Lihat juga  Mullâ ‘Ali al-Qârî ‘Ali bin Sulthân (w. 1014 H), op. cit, h. 598.
    [16] Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddiqiey, Ibid.
    [17] Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 H), al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995, cet. I, Jld. I, h. 158.
    [18] Lihat Ibnu Manzhur (w.771H), op. cit, Jld. XI, h. 430. Lihat juga al-Fairuz Âbâdî (w. 817 H), op. cit, h. 1331.
    [19] Defenisi ini sangat berkaitan erat dengan syur­th ada’ al-hadîts yang dibahas dalam kajian Mushthalah al-Hadîts. Dengan demikian defenisi di atas tidak bertentangan dengan pengertian sahabat itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu. Lihat Shubhî Shâlih, op. cit, h.126. Lihat juga Muhammad Mushthafâ al-Azhamî (kemudian disebut M.M. al-A’zhamî), Manhaj an-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn, Maktabah al-Kautsar, 1990, cet III, h. 25. Lihat juga as-Suyuthî  (w.911 H), op. cit, Jld. I, h. 300. Adapun menurut kalangan ulama usul fikih, antara lain al-Gazâlî berpendapat bahwa al-‘adâlah merupakan sikap konsekwen seorang Muslim dalam menjalankan tuntunan agamanya, sehingga tercermin pada dirinya sifat taqwa dan bermoral yang baik. Dengan demikian orang lain mempercayainya sebagai orang yang jujur. Lihat al-Musthashfâ fî ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1993, cet I, h. 125.
    [20]Ibid. Lihat juga  Muhammad Diyâ’ ar-Rahmân al-A‘zhamî, Dirâsât fî al-Jarah wa at-Tadîl, Maktabah al-Gurabâ’ al-Atsariyyah, 1995, cet I, h. 227.
    [21] Lihat Ibnu Katsîr, Abu al-Fidâ’ (w. 774 H), al-Bâ‘its al-Hatsîts Syarah Iktishâr ‘Ulûm al-Hadîts, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1994, cet IV, h.177.
    [22] Lihat Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ab­ Hurairah Râwiyah al-Islâm, al-Hai’ah al-Mishriyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, Mesir, 1987, hlm: 34. Lihat juga M.M. al-A‘zhamî, Manhaj an-Naqd.., hlm: 105.
    [23] Lihat  Yahya bin Syaraf an-Nawawî (w. 677 H),(kemudian disebut an-Nawawî), al-Minhâj bi Syarhi Shahîh Muslim bin al-Hajjâj  (yang lebih dikenal dengan sebutan Syarah Shahîh Muslim), Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1995, cet I, Jld. XVI, h.75. Kitâb Fadhâil ash-Shahâbah ; Bâb Tahrim Sabbu ash-Shahâbah.
    [24] Antara lain pesan beliau yang terekam adalah : عن أبي بردة عن أبيه (في حديث طويل) قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  النجوم أمنة للسماء فإذا ذهبت النجوم أتى السماء ما توعد وأنا أمنة لأصحابي فإذا ذهبت أتى أصحابي ما يوعدون وأصحابي أمنة لأمتي فإذا ذهب أصحابي أتى أمتي ما يوعدون * رواه مسلم. Ibid.,  Kitâb Fadhâil ash-Shahâbah; Bâb Bayân anna Baqâ an-Nabi…
    [25]  Lihat al-Khatîb al-Bagdadî (w. 463 H), op. cit, h. 67.
    [26] Lihat Ibnu Hajar (w. 852 H), Fath al-Bârî..., op. cit, Jld. III, h. 191, Kitâb al-Janâiz; Bâb Ma yukrahu..., dan lihat an-Nawawî (w. 677 H), al-Minhâj..., op. cit, Jld. XVII, h. 101. Kitâb az-Zuhd wa ar-Raqâiq; Bâb at-Tatsabbut fî al-Hadîts...
    [27] Penyataan ini disebutkannya ketika ia tidak ikut dalam perang Tabuk tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh al- Bukhârî dalam Shahîhnya. Lihat Ibnu Hajar (w. 852 H), Fath al-Bârî..., op. cit, Jld. VII, h. 717. Kitâb al-Magâzî; Bâb Hadîts Ka’ab bin Mâlik.
    [28] Lihat Ibnu Katsîr (w. 774 H), op. cit, h. 180, juga  as-Sakhâwî (w. 902 H), op. cit, h. 109.
    [29]  Lihat ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts…, op. cit, h. 403-404.
    [30] Sayyid Abd al-Majid al-Ghauri, Madkhal ila ‘Ulum al-Hadîts, (Damaskus: Dar Ibnu katsir, 2009), h. 359 
    [31] Lihat al-Imam adz-Dzahabî Muhammad bin Ahmad (w. 748 H), Siyar Alâm an-Nubalâ’, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, 1996, cet XI, Jld. II, h. 578. Lihat juga Ibnu Hajar  (w. 852 H), al-Ishâbah..., op. cit,  Jld. VII, h. 348.
    [32] Lihat Mushthafâ as-Sibâ‘î, as-Sunnah wa Makânatuhâ fî at-Tasyrî‘ al-Islâmî, al-Maktab al-Islâmî, Beirut, 1985, cet IV, h. 292.
    [33] Lihat Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, an-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1959, cet VII, h. 218.
    [34] Dia adalah seorang orientalis berkebangsaan Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi  pada tahun 1850 M. Goldziher pernah belajar dengan Syeik °âhir al-Jazâirî di Syiria dan sejumlah ulama al-Azhar di Mesir. Ia meninggal pada tahun 1921 M. Karya tulisnya yang berjudul “Muhammadanische studien ” adalah buku rujukan utama dalam kajian Hadis di Barat. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, cet III, h.14.
    [35] Lihat Mushthafâ as-Sibâ‘î, loc. cit. Lihat juga M.M. al-A‘zhamî, Manhaj an-Naq..., op. cit, h. 103.  ‘Ajjâj al-Khathîb, as-Sunnah Qabla..., op. cit. h. 447.
    [36] Lihat Mahmud AbuRaiyyah, Adhwâ’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Dâr al-Ma‘ârif, Mesir, ttp, h.  216. Lihat juga ‘Ajjâj al-Khathîb, as-Sunnah Qabla..., Ibid, dan juga Mushthafâ as-Sibâ‘î, Ibid.
    [37] Lihat Mushthafâ as-Sibâ‘î, Ibid. Lihat juga  ‘Abd al-Munim al-‘Alî al-‘Izzî, op. cit, h. 113
    [38] Lihat Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad ‘Abd Allâh bin Muslim (w. 376 H), Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, ttp, h. 41.
    [39] Lihat Shubhî as-Shâlih, op. cit, h. 360.
    [40]Lihat Ibnu Hajar (w. 852 H), Fath al-Bârî..., op. cit, jld. I, h. 259. Kitâb al-‘Ilm; Bâb Hifzhu al-‘Ilmi.
    [41] Lihat juga  ‘Abd al-Munim al-‘Alî al-‘Izzî, op. cit, h. 115
    [42] Lihat Mahmud Abu Raiyyah, op. cit, h. 197.
    [43] Lihat G.H.A. Juynboll, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Mosern Egypt, Edisi Indonesia: Kontroversi Hadis di Mesir, penerjemah Ilyas Hasan, Penerbit Mizan, Bandung, 1999, cet I, h. 95
    [44] Lihat  Mushthafâ as-Sibâ‘î, ibid.
    [45] Lihat as-Suyûthî (w. 911 H) , op. cit, h. 218.
    [46] Lihat ‘Ajjâj al-Khathîb, Abu Hurairah...,op. cit, h. 130-136. Lihat juga T.M. Hasbi Ash Shiddiqiey, op. cit, h. 245.
    [47] Lihat Ali Mustafa Yaqub, op. cit, h. 110

    Related Posts by Categories



    ads

    Ditulis Oleh : Budi Juliandi Hari: 19.17 Kategori:

    1 komentar:

     

    About Me

    Foto Saya
    Budi Juliandi
    "thousand friends too few one enemy too many"
    Lihat profil lengkapku

    Followers