Studi Kedudukan Abu Hurairah dalam Periwayatan Hadis
DR.
Ardiansyah, M.Ag dan Budi Juliandi, MA*
Abstrak
This article discusses the concept of ‘Adâlah
Sahabah in narrating the tradition of the Prophet (p.b.u.h) with special
reference to Abu Hurairah. It assumes that the critiques that come from various
sects toward the Prophet’s companions imply that the study about them is very important issue and has been
discussed by every generation. Abu
Hurairah ra in particular, has received various critique on his personality.
Some scholars saw him as a lazy and fabricator, while the other honored him as
the pioneer for disseminating the tradition of the Prophet (p.b.u.h). Perhaps,
only ‘Ajjâj al-Khatîb, as it is described in this article, who took the middle
path of the two contentious poles in describing Abu Hurairah ra.
Kata Kunci : Keadilan Sahabat, Abu
Hurairah, Periwayatan hadist.
A. Pendahuluan
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah
al-Qur’ân mulai mendapatkan perhatian yang cukup besar di kalangan ulama klasik
sejak abad II H. Hal ini disebabkan kedudukannya yang sangat strategis yaitu
sebagai al-bayân (penjelas) bagi ayat-ayat suci al-Qur’ân dan sekaligus
membawa hukum tersendiri. Sedemikian pentingnya sampai-sampai al-Imam al-Auzâ‘î
(w. 157 H) menyatakan bahwa “Jika dihayati dengan seksama, maka al-Qur’ân
lebih membutuhkan Sunnah dibandingkan dengan kebutuhan Sunnah terhadap Alquran”.[1]Dalam hamlu
al-hadîts wa al-adâ’, peranan para sahabat sangat penting, sebab
mereka adalah perantara bagi generasi selanjutnya dari setiap perbuatan,
perkataan dan persetujuan Nabi saw. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh generasi
setelah mereka seperti tabi‘in. Hal ini pula yang mendorong mereka untuk
menyebarnya ke wilayah-wilayah yang telah dikuasai umat Islam pada saat itu.[2]
Setiap Hadis
terdiri dari dua bagian penting yaitu sanad dan matan. Matan
adalah kandungan hadis yang berisikan sabda Nabi saw, sementara sanad adalah
rentetan nama yang meriwayatkan hadis dimulai dari tingkatan sahabat.[3] Kedua unsur
penting tersebut harus memenuhi kriteria yang telah disepakati oleh ahli Hadis
agar dapat memenuhi kreteria hadis shahîhsebagaimana
dibahas dalam ilmu mushthalah al- hadîts. Sebagaimana
yang telah dinyatakan di atas bahwa sahabat adalah awal dari mata rantai sanad
suatu hadis maka jika awal mata rantai itu rusak atau terputus, maka akan rusak
dan berantakan mata-mata rantai selanjutnya. Hal inilah yang menjadikan
permbahasan tentang ke-‘adâlah-an sahabat menjadi pembahasan yang
penting sekaligus menarik untuk dikaji ulang sebagai proses tabaiyun.
Di samping
itu, kedudukan Abu Hurairah sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan
hadis yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis memunculkan pertanyaan lain
yang berkaitan dengan pembahasan ke‘adalahan sahabat ini. Sebab,
kehidupannya yang relatif singkat bersama Nabi saw jika dibandingkan dengan
sahabat-sahabat besar lainnya seperti Abu Bakr ra, Umar ra, Utsman ra dan ‘Ali
bin Abi Thalib ra, membuat permasalahan ini semakin menarik untuk dibahas. Abu
Hurairah juga pernah berseteru dengan Khalifah Umar bin Khattab pada masa itu,
karena ia mengajarkan hadis kepada masyarakat luas. Umar pernah melarang bahkan
menangkap dan menghukumnya karena ia tetap mengajarkan hadis-hadis Nabi saw
karena alasan tertentu. Fakta ini menjadikan pembahasan yang berkaitan dengan
pribadi Abu Hurairah semakin menarik untuk dikaji guna “menguak” sisi
kontroversial dari sejarah kehidupannya.
B. Urgensi Kritik Sanad
Untuk
mengetahui kondisi suatu hadis maka dibutuhkan kritik hadis. Perlu kiranya
untuk mempertanyakan apakah suatu hadis benar-benar berasal dari Nabi saw atau
bukan. Berarti, sasarannya adalah dokumen dan teks sumber yang menginformasikan
tentang hadis-hadis Nabi saw tersebut.
Jika diteliti lebih lanjut maka kritik hadis memiliki persamaan dengan
penelitian sejarah, yakni sama-sama berupaya meneliti sumber dalam rangka
memperoleh data yang autentik dan dapat dipercaya.
Dalam metode
sejarah, terlebih dahulu sumbernya harus diteliti sebelum data digunakan.
Sumber data, dilihat dari sifatnya ada dua, yaitu sumber primer dan sekunder.
Sementara, penelitian pada sumber tersebut ada dua macam; kritik ekstern dan
kritik intern. Berkaitan dengan penelitian Hadits Nabi saw, kritik yang
ditujukan pada sanad (perawi) atau naqd as-sanad adalah kritik ekstern
dalam ilmu sejarah atau naqd al-hadîts al-kharijî, an-naqd azh-Zhâhri;
dan kritik pada matan (naqd al-matn), disebut juga kritik intern
dalam ilmu sejarah(an-naqd ad-dâkhilî, an-naqd al-bathinî). Jadi, kritik
Hadits Nabi saw. itu terbagi menjadi dua aspek atau segi, yakni segi sanad dan
segi matan.
Sanad adalah
penjelasan tentang jalan yang menyampaikan kita pada materi hadis. Untuk
menentukan kualitas suatu hadis, kedudukan sanad adalah sangat penting sekali.
Sekalipun terdapat suatu pernyataan yang baik dan bernilai, namun jika sanadnya
cacat karena terdapat rawi yang tidak jujur atau pelupa maka hadis itu menjadi
berkurang kesahihannya. Bahkan bisa saja menjadi hadis da’if (lemah) yang tidak
dapat dijadikan landasan sama sekali. Oleh karena itu, para ulama sangat intens
memperhatikan sanad suatu hadis. Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H) mengatakan
bahwa, “sanad (al-isnâd) itu bagian dari agama, jika sanad itu tidak
ada, niscaya siapapun dapat mengatakan apapun yang dikehendakinya”. Imam
Az-Zuhri dan ats-Tsaurî juga mengatakan hal yang sama tentang pentingnya sanad.
Dikatakan az-Zuhri,” apakah engkau akan menaiki langit tanpa tangga?”,
sedangkan ats-Tsauri, “sanad itu senjata orang mukmin, jika tidak ada,
bagaimana bisa membunuh?”[4]
Dari paparan
singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dapat dikatakan
memiliki sanad yang kuat jika; pertama, perawi bersifat ‘adil dan hafal dengan
baik hadits yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits
yang dihafalnya kepada orang lain. Kedua unsur inilah yang akan diterapkan
dalam menilai kedudukan Abu Hurairah daam periwayatan hadis.
C. Perkembangan Kodifikasi Hadis
Sahabat
memiliki peranan penting dalam periwatan hadis. Mereka adalah generasi pertama
yang menerima langsung hadis-hadis Nabi saw. Dengan demikian pembahasan tentang
jati diri mereka serta peranan mereka dalam mengemban penyebaran hadis menjadi
sangat menarik untu dikaji. Selain daripada itu, kodifikasi hadis Nabi saw
mengalami perjalanan sulit dan tidak seperti layaknya al-Qur’ân. Sebab, pada
masa Nabi saw, sempat dilarang penulisan hadis dengan berbagai alasan antara
lain; takut bercampur dengan al-Qur’ân dan dikhawatirkan perhatian para sahabat
menjadi terpecah. Permasalahan ini semakin tidak sederhana, karena pemalsuan
hadis semakin merebak dan banyak sahabat yang terbunuh di medan perang.
Beragamnya pandangan kibâr ash-Shahâbah pun menjadikan permasalahan
kodifikasi hadis semakin berat. Umar bin Khattab misalnya, pernah melarang Abu
Hurairah untuk mengajarkan hadis dan mendiktekannya kepada para tabi’in.
perseteruan ini sempat memanas, dimana akhirnya Abu Hurairah sempat ditahan dan
dilarang mengajar.
Barulah pada
masa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz (w. 101 H) kodifikasi hadis mendapatkan
persetujuan resmi dari seorang khalifah. Sejak itu pula kodifikasi hadis
dilakukan secara resmi dan besar-besaran. Dari hasil “rekap” itulah diketahui
bahwa diantara sekian banyak sahabat yang meriwayatkan hadis, ternyata Abu
Hurairah adalah sahabat terbanyak meriwayatkannya. Pada masa berikutnya
mencuatlah kritikan atas kedudukan Abu Hurairah sebagai periwayat hadis Nabi
saw terbanyak. Hal ini dikarenakan ia memeluk Islam beberapa tahun sebelum
wafatnya Nabi saw. Selain itu, Abu Hurairah bukanlah sahabat yang tergolong
intelektual layaknya seperti Usman bin ‘Affan dan Ubai bin Ka’ab. Sehingga
kecurigaan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya menjadi suatu yang tak
terhindarkan. Penelitian dilakukan bukan saja oleh sarjanawan muslim, akan
tetapi juga dari kalangan non-muslim. Beragam kesimpulan coba dikemukakan dari
masin-masing kubu. Kritikan tidak saja diarahkan atas kemampuan Abu Hurairah
akan tetapi sampai menjurus kepada jati dirinya. Abu Raiyah misalnya,
menyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berdusta. Pernyataannya itu didasarkannya
kepada perseteruan yang terjadi antara Abu Hurairah dengan ‘Aisyah ummul
mukminin. Dalam perseteruan itu ‘Aisyah mengatakan bahwa Abu Hurairah “kadzaba”
(telah berdusta). Namun, Ibnu Hajar (w. 852 H) salah seorang ahli hadis
terkemuka berpendapat bahwa dalam bahasa ahlu hijaz (Madinah) kata-kata seperti
itu kerap digunakan untuk menunjukkan bahwa orang yang dimaksud benar-benar
telah salah, dan bukan berarti bahwa orang itu berdusta.[5]
Pada masa Nabi, hadis disebarkan dari
mulut ke mulut (teori hafalan). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor; pertama,
adanya larangan menulis hadis oleh Nabi saw. karena takut bercampur dengan
ayat-ayat al-Qur’ân. Kedua, minimnya kemampuan para sahabat, dan bangsa
Arab secara umum, dalam tulis-baca serta minimnya alat tulis pada masa itu. Ketiga,
ditakutkan perhatian sahabat akan terbagi-bagi dengan adanya hadis, sehingga
al-Qur’ân tidak terjaga dengan baik. Namun, menurut sebagian ulama bahwa
larangan penulisan hadis ini tidak bersifat umum, sebab ditemukan sebagian
sahabat yang memiliki kemampuan menulis seperti ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Bakr
ash-Shiddîq, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thâlib, dan Jâbir bin ‘Abdillah
al-Anshârî mencatat hadis-hadis yang mereka dengar dari Nabi. Hanya saja
catatan ini bersifat individual dan untuk kepentingan pribadi saja. Hal ini
menunjukkan bahwa hadis bukan tidak tercatat sama sekali pada era Nabi, akan
tetapi terbatas dan untuk kepentingan pribadi. Penulisan pada masa ini kemudian
dikenal dengan istilah “shahîfah” (lembaran catatan).[6]
Pada masa Khulafâ’ ar-Râsyidin
(11-40 H), keberadaan hadis/sunnah masih dapat dipertahankan, karena para
sahabat yang merupakan syuhûd al-a‘yân (saksi-saksi mata) dari kehidupan
beliau masih banyak dan belum terpencar-pencar. Bahkan pada masa ini terjadi
pembatasan terhadap penulisan dan periwayatan hadis. Sebab, para sahabat lebih
terfokus kepada pembukuan al-Qur’ân. Namun, setelah terjadi “ekspansi” umat
Islam ke berbagai wilayah serta mulai bermunculannya fitnah (perpecahan) dalam
tubuh umat Islam yang berakibat kepada munculnya hadis-hadis palsu, maka
kebutuhan kepada kodifikasi hadis semakin mendesak. Para sahabat besar mulai
wafat satu-persatu dan kecenderungan untuk menhafal hadis mulai berkurang di
kalangan umat Islam juga merupakan faktor lain yang mendesak dibukukannya
hadis-hadis Nabi dalam sebuah catatan khusus.
Pada
masa khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz (99-101 H), khalifah kedelapan dari
dinasti bani Umaiyah, ia menginstruksikan kepada sejumlah ulama seperti ‘Abu
Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, gubernur Madinah, (w. 117 H) dan Muhammad
bin Syihâb az-Zuhrî (w. 124 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para
penghafalnya. Usaha kodifikasi ini dilatar belakangi oleh tiga hal pokok; pertama,
kekhawatiran akan hilangnya hadis-hadis tersebut bersamaan dengan meninggalnya
para sahabat dan ahli-ahlinya. Faktor ini adalah faktor utama, sebab ulama dan
ahli-ahli hadis pada masa itu bukan sekedar mengajarkan ilmu agama, namun
mereka juga pejuang-pejuang yang turun ke medan perang. Kedua,
kekhawatiran akan bercampurnya antara hadis-hadis yang sahih dengan yang palsu.
Ketiga, kemampuan para tabi’in dan umat Islam saat itu yang mulai
berkurang dalam menghafal hadis-hadis Nabi saw., sehingga jelas sangat
membutuhkan usaha kodifikasi ini.[7]
D. Pengertian Sahabat
Secara etimologis kata sahabat berasal dari bahasa Arab
yang merupakan bentuk jamakdari kata shâhibun ( صاحِب ) yang bermakna selalu menyertai dan
menemani.[8]Dengan
demikian “sahabat” menurut akar katanya berarti orang yang selalu menyertai dan
menemani orang lain, yang kemudian dalam penggunaan musthalah hadis dimaksud
khusus para sahabat nabi. Dalam menetapkan batasan dan sekaligus kreterianya,
para ulama berbeda pendapat. Berikut ini beberapa pendapat tersebut:
1. Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 240 H), Imam al-Bukhârî (w. 256 H), Ibnu ash-Shalâh
(w. 643 H), dan mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa sahabat adalah: setiap
orang yang melihat Nabi saw. dari kalangan umat Islam walau sesaat.[9]
2.
Al-Wâqidi (w. 207 H)
berpendapat sebagaimana yang ia nukil dari beberapa ulama bahwa sahabat adalah
setiap orang yang bertemu dengan Nabi saw. walau sesaat, kemudian masuk Islam
dan telah balig, sehingga ia mengerti permasalahan agama dan dapat mentaatinya.[10] Namun,
pendapat terakhir ini dibantah oleh al-‘Irâqi
dengan menyatakan bahwa syarat baligh yang terdapat pada defenisi tersebut
janggal (syâdz). Karena dengan syarat tersebut akan mengeluarkan banyak
sahabat yang bertemu dengan Nabi saw. dan mereka belum mencapai usia balig
seperti Mahmûd bin ar-Rabi‘ ra.
(seorang sahabat yang disembur mukanya dengan air oleh Nabi saw. pada saat ia
berumur lima tahun), Ibnu‘Abbâs ra.,
Hasan ra. dan Husain ra.[11]
3. Menurut
Ibnu Hazm (w. 456 H) sahabat adalah orang yang pernah duduk bersama Nabi
walau sesaat, mendengar darinya walau sepatah kata, atau menyaksikan darinya
satu perkara dalam kondisi sadar, dan tidak termasuk orang munafik yang
kemunafikanya diketahui sampai ia mati. [12]
4.
Pendapat yang dinisbahkan
kepada Sa‘îd bin Musaiyab bahwa sahabat adalah orang yang bersama-sama Nabi
saw. satu atau dua tahun dan ikut dalam peperangan bersamanya. Akan tetapi
pendapat ini juga tidak kuat, karena pada periwayatannya terdapat Muhammad bin
‘Amru al-Wâqidî ia adalah seorang yang lemah[13]. Dengan
pendapat ini akan lebih banyak lagi orang-orang yang tidak termasuk dalam
kategori sahabat.
5. Menurut
Utsmân Shaleh sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddiqiey, sahabat adalah
orang yang hidup pada masa Nabi saw. walaupun ia tidak melihatnya dan memeluk Islam semasa Nabi.[14] Namun,
pendapat ini terlalu meluas sehingga mencakup orang yang murtad setelah wafat
Nabi saw. dan begitu juga al-Mukhadhram [15] yaitu
orang-orang Muslim yang hidup pada masa Nabi saw. tapi tidak bertemu dengan
beliau. Dengan demikian pendapat ini lemah dan keluar dari pendapat kebanyakan
ulama.
6.
Menurut Hasbi Ash Shiddiqiey,
sahabat adalah orang yang ada persahabatan dengan Nabi, persahabatan yang mesra
yang timbul dari keimanan dan ketaatan. Maka, orang yang mempunyai shuhbah
(perkawanan dan penyertaan) yang erat dengan Nabi, seperti Jarîr al-Bajalî,
walaupun tidak lama, dapat dikatakan sahabat.[16]
7.
Menurut Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî (w. 852 H) sahabat adalah:
الصَّحَابِي: مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ مُؤْمِناً بِهِ، وَماَتَ عَلَى الإِسْلاَمِ ؛
فَيَدْخُلُ فِيْمَنْ لَقِيَهُ مَنْ طَالَتْ مُجَالَسَتُهُ لَهُ أَوْ قَصُرَتْ،
وَمَنْ رَوَى عَنْهُ أَوْ لَمْ يَرْوِ، وَمَنْ غَزَا مَعَهُ أَوْ لَمْ يَغْزُو،
وَمَنْ رَآهُ رُؤْيَةً وَلَوْلَمْ يُجَالِسُهُ، وَمَنْ لَمْ يَرَهُ لِعَارِضٍ
كَالْعُمْىِ.
“Sahabat adalah
orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw pada masa hidupnya dan
beriman kepadanya serta meninggal dalam keadaan Islam. Maka dengan demikian
termasuklah orang-orang yang bertemu Nabi saw walau dalam waktu yang singkat.
begitu juga dengan orang yang pernah meriwayatkan suatu hadis daripadanya
ataupun tidak, berperang bersamanya atau tidak, dan orang yang tidak dapat
melihatnya karena sesuatu hal seperti buta.[17]
Pendapat
terakhir ini, lebih râjih (kuat) dari pada pendapat sebelumnya,
hal ini karena pendapat tersebut mencakup seluruh yang termasuk dalam kategori
sahabat (jâmi‘), dan mengeluarkan selain mereka (mâni‘). Hal ini
dapat dilihat bahwa seorang sahabat haruslah beriman kepada ajaran yang dibawa
Nabi selama hayatnya, jika ia murtad setelah wafat Nabi maka status sahabatnya
hilang. Hal ini menjadi penting karena banyaknya fitnah setelah wafat
Nabi saw. Pendapat terakhir ini mencakup pendapat pertama dan kedua yang
merupakan pendapat mayoritas ahli hadis.
E. Pendapat Ulama tentang Ke‘adalahan Sahabat
Telah
disinggung pada pembahasan terdahulu bahwa sahabat adalah orang yang langsung
mendengar dan menyaksikan kehidupan Nabi saw walau sesaat. Oleh sebab itu, ke-‘adâlah-an mereka
dalam periwayatan Hadis menjadi sangat diperhitungkan. Karena mereka adalah
sumber dan awal proses periwayatan dari suatu hadis. Namun sebelum lebih lanjut
pembahasan ini menguraikan pendapat ulama tentang ke-adâlah-an mereka,
akan diuraikan terlebih dahulu pengertian ‘adâlah menurut terminologi
ulama hadis.
Al-‘adâlah berasal dari
kata al-‘adlu atau dalam
bahasa Indonesia selalu kita jumpai kata adil, yang berarti orang yang dapat
diterima perkataan dan hukumnya, atau lawan kata dari al-jaur (penyimpangan).[18] Adapun
pengertiannya menurut ulama hadis adalah seorang muslim yang balig, berakal,
bebas dari sifat fasik, dan perbuatan yang merusak moral (خوارم المروءة).[19] Namun,
definisi ini tidak berarti bahwa orang yang ‘adil
itu ma‘shum (terpelihara)
dari perbuatan dosa. Hanya saja ketaatan yang ada pada dirinya lebih dominan,
sehingga ia mampu menghindari dosa-dosa kecil dan menjauhi dosa besar dari
dirinya. Dengan kata lain, zahirnya mencerminkan sifat-sifat yang baik dan
bermoral. [20]
Dalam
mengkritisi dan menilai ke-‘adâlah-an sahabat,
para ulama berbeda pendapat. Menurut aliran Mu‘tazilah seluruh sahabat
adil kecuali mereka yang ikut memerangi ‘Ali
bin Abî Thâlib sebagai pemimpin yang sah pada saat itu. Oleh karena itu pula
riwayat mereka tidak dapat diterima. Adapun pendapat Râfidhah(salah satu
sekte dalam aliran Syi’ah)menyatakan bahwa seluruh sahabat kafir kecuali tujuh
belas orang.[21] Menurut
mayoritas ulama sunniseperti Imam Abû Hanîfah
(w. 150 H), Imam Mâlik (w. 179 H), Imam asy-Syâfi‘î (w. 204 H), Ibnu al-Madînî
(w. 234 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), al-Bukhârî (w. 256 H), Muslim
(w. 261 H), dan Ibnu Taimiyah (w. 728 H) berpendapat bahwa seluruh sahabat
adalah adil.[22] Pendapat
terakhir ini yang lebih râjih disebabkan banyaknya dalil baik
dari al-Qur’ân ataupun hadis Nabi saw yang menjelaskan kelebihan yang mereka
miliki. Dalil-dalil tersebut antara lain adalah:
(a) dari ayat
al-Qur’ân seperti dalam QS. al-Anfâl
[8]:74 :
úïÏ%©!$#ur(#qãZtB#uä(#rãy_$ydur(#rßyg»y_urÎûÈ@Î6y«!$#tûïÉ©9$#ur(#rur#uä(#ÿrç|ÇtR¨rÍ´¯»s9'ré&ãNèdtbqãZÏB÷sßJø9$#$y)ym4Nçl°;×otÏÿøó¨B×-øÍur×LqÌx.ÇÐÍÈ
“ Dan orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat
kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah
orang-orang yang benar-benar beriman.Mereka memperoleh ampunan dan rezki
(nikmat) yang mulia”.
Demikian juga dalam QS.
at-Taubah [9]:100:
cqà)Î6»¡¡9$#urtbqä9¨rF{$#z`ÏBtûïÌÉf»ygßJø9$#Í$|ÁRF{$#urtûïÏ%©!$#urNèdqãèt7¨?$#9`»|¡ômÎ*Î/Å̧ª!$#öNåk÷]tã(#qàÊuurçm÷Ztã£tãr&uröNçlm;;M»¨Zy_Ìôfs?$ygtFøtrBã»yg÷RF{$#tûïÏ$Î#»yz!$pkÏù#Yt/r&4y7Ï9ºsãöqxÿø9$#ãLìÏàyèø9$#ÇÊÉÉÈ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar”.
Selain itu, firman Allah SWT
dalam QS. al-Fath [48]:18
ôs)©9_ÅÌuª!$#Ç`tãúüÏZÏB÷sßJø9$#øÎ)tRqãèÎ$t7ã|MøtrBÍotyf¤±9$#zNÎ=yèsù$tBÎûöNÍkÍ5qè=è%tAtRr'sùspuZÅ3¡¡9$#öNÍkön=tãöNßgt6»rOr&ur$[s÷Gsù$Y6Ìs%ÇÊÑÈ
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka
Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas
mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya)”.
Pujian-pujian ini menegaskan
keadilan yang ada pada diri sahabat secara umum. Demikian juga menjelaskan
kelebihan sahabat dengan adanya rida Allah swt. dan janji kemenangan dunia dan
akhirat (surga) bagi mereka. Pujian yang sedemikian banyak tentu tidak dapat
diperoleh oleh sembarang orang, akan tetapi hanya orang-orang yang telah
dipilih Allah swt. Selain itu, dijumpai juga pujian Allah swt. yang ditujukan
kepada perorangan, seperti pujian Allah swt. terhadap Abu bakr ra. sebagaimana
tertera pada QS. al-Lail [92]: 5-7.
(b)
Di dalam sabda Nabi saw. ditemukan larangan untuk mencaci-maki para sahabatnya,
sebagaimana pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ
تَسُبُّوْا أَصْحَابِي ، لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلاَ نَصِيْفَهُ * (رَوَاهُ مُسْلِم)[23]
Dari
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sekali-kali kamu
menghina sahabatku, janganlah sekali-kali kamu menghina sahabatku. Demi yang
jiwaku berada di tangan-Nya, jika sekiranya salah seorang diantara kamu
menginfakkan hartanya sebesar gunung Uhud dari emas, maka tidaklah sama dengan
pemberian mereka dan tidak pula setengahnya!”
Di
samping itu, ditemukan pesan Nabi saw kepada umatnya untuk mengikuti jejak para
sahabat setelah kepergiannya. Bahkan beliau menegaskan agar umatnya berpegang
teguh kepada ajaran mereka terkhusus Khulafâ’
ar-Râsyidîn. Jika mereka tidak layak menerima amanat tersebut, Rasulullah saw.
(yang perkataannya adalah wahyu Allah) tidak akan berpesan demikian. Pesan ini
membuktikan kelayakan mereka menjadi panutan (uswatun hasanah)
terhadap generasi setelah mereka dan sekaligus secara implisit menjamin ke‘adâlahan
mereka.[24]
Lebih lanjut Abu Zur‘ah ar-Râzî (w. 264 H) berpendapat bahwa orang yang
berusaha merendahkan martabat sahabat Nabi adalah seorang zindîq. Karena
orang tersebut pada dasarnya ingin mengacaukan dan menimbulkan keraguan di
kalangan umat Islam terhadap al-Qur’ân dan Sunnah. Hal ini mereka mulai dari
mencela sahabat yang merupakan mediator utama antara ajaran Nabi saw.[25]
Dari paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa seluruh sahabat ‘âdil dalam pengertian dapat dipercaya
riwayatnya sebab mereka tidak pernah berdusta dengan sengaja atas nama Nabi
Muhammad saw. Dugaan ini juga diperkuat dengan hadis mutawatir yang hampir
dapat dipastikan bahwa setiap sahabat Nabi mengetahuinya yaitu:
عَنِ
الْمُغِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ
كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
(مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)[26]
Dari
Mughirah ra berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidaklah sama dengan yang lain, barang siapa yang berdusta
atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka!”
Namun, perlu
ditegaskan kembali bahwa ke‘adâlahan tidak menjamin mereka terlepas dari
kesalahan dan kealpaan. Namun kesalahan yang mereka lakukan bukanlah hal yang
disengaja akan tetapi merupakan hasil ijtihad. Selain itu, kesalahan juga
mungkin saja terjadi dikarena lupa atau salah memahami informasi sebenarnya
yang ia dengan dari sahabat lain. Kesalahan seperti ini tidaklah menjatuhkan
kedudukan mereka sebagai sahabat. Namun, kesalahan itu harus dijelaskan
hakikatnya sehingga tidak menimbulkan kesalah-pahaman.
F. Jumlah Sahabat Yang Meriwayatkan Hadis
Tersebarnya para sahabat di daerah-daerah sekitar jazirah
Arab menyebabkan tidak diketahui jumlah mereka secara pasti. Demikian juga
tidak adanya catatan yang jelas yang menyebutkan jumlah mereka sampai wafatnya
Nabi saw. Bahkan Ka‘ab bin Mâlik ra. menyatakan bahwa jumlah sahabat Nabi saw.
sangat banyak tidak mungkin dikumpulkan dalam satu kitab.[27] Adapun
jumlah sahabat yang ikut dalam haji Wadâ‘ sebanyak tujuh puluh ribu orang.
Namun hal ini bukanlah jumlah keseluruhan sahabat. Karena ada sahabat yang lain
yang tidak turut serta dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut. Sebagian ulama
ada yang menyebutkan jumlah sahabat secara konkrit ketika wafatnya Nabi saw.
antara lain adalah Abu Zur‘ah ar-Râzî (w. 264 H). Beliau menyatakan bahwa
ketika Nabi saw. wafat jumlah para sahabat adalah seratus empat belas ribu
orang yang terdiri dari ahli Makkah, Madinah, dan daerah diantara keduanya.
Termasuk juga orang Baduwi yang hidup dipelosok-pelosok (al-A‘râb) dan
mereka yang ikut haji Wadâ‘. [28]
Namun dari
keseluruhan jumlah sahabat yang tersebut di atas, sahabat yang terlibat dalam
periwayatan Hadis Nabi saw. menurut ‘Ajjâj al-Khathîb hanya 539 orang saja
dengan rincian sebagai berikut; 7 orang sahabat masing-masing meriwayatkan
lebih dari seribu hadis, 11 sahabat masing-masing meriwayatkan lebih dari dua
ratus, 21 sahabat masing-masing meriwayatkan lebih dari seratus, hampir seratus
sahabat masing-masing meriwayatkan puluhan, lebih dari seratus sahabat
masing-masing meriwayatkan sepuluh, dan kira-kira tiga ratus orang sahabat
masing-masing meriwayatkan satu hadis saja. Mereka itulah yang terjamin ke-‘adâlah-annya.[29]
Adapun tujuh
sahabat yang tercatat paling banyak meriwayatkan hadis adalah sebagai berikut:
- Abu Hurairah (w. 59 H) : 5374 Hadis.
- Ibnu ‘Umar (w. 73 H) : 2630 Hadis.
- Anas Bin Malik (w. 93 H) : 2286 Hadis.
- ‘Aisyah (w. 58 H) : 2210 Hadis
- Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) : 1660 Hadis.
- Jabir bin Abdillah (w. 78 H) : 1540 Hadis
- Abu Sa’id al-Khudri (w. 74 H) : 1170 Hadis[30]
G.
Studi Kritis
terhadap Ke‘adâlahan Abu Hurairah (19SH–59H)
Abu Hurairah
adalah kunyah (panggilan), adapun namanya cukup banyak bervariasi,
sedangkan yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti. Sebab, kebiasaan bangsa
Arab yang lebih suka memanggil seseorang dengan kunyahnya atau dengan gelarnya.
Penelitian para ulama menyimpulkan bahwa nama yang masyhur dan yang dianggap
paling benar adalah ‘Abd ar-Rahmân bin Sakhar ad-Dausî al-Yamânî.
Sebelum memeluk Islam, panggilan akrabnya adalah ‘Abd
Syams. Ketika masuk Islam Nabi saw. mengganti namanya dengan ‘Abd ar-Rahmân.
Hal ini dikarenakan “‘abd asy-syams” berarti “hamba matahari” yang tidak
baik menurut dalam pandangan Islam. Namun, kemudian ia lebih dikenal dengan kunyahnya
yaitu “Abu Hurairah”.
Panggilan ini
bermula dari kebiasaannya dan sifatnya yang sangat menyukai kucing. Pada suatu
ketika ia menemukan sekumpulan anak kucing ketika ia sedang mengembala kambing.
Rasa iba mendorongnya untuk membawa anak-anak kucing tersebut ke rumahnya.
Keesokan harinya orang-orang yang melintasi rumahnya terkejut dan merasa aneh
mendengar suara riuh anak kucing. Sejak itu pula mereka memanggilnya dengan
panggilan Abu Hurairah. Akan tetapi Nabi saw. memanggil dengan Abu Hirrin
(dalam bentuk mudzakkar). [31]
Abu Hurairah
ra. adalah seorang sahabat Nabi yang terbanyak meriwayatkan hadis. Padahal ia
memeluk Islam terhitung belakangan yaitu pada bulan Safar tahun ke 7 Hijriyah
dan usianya ketika itu kira-kira tiga puluh tahun. Ia mengenal Islam dari salah
seorang sahabat yang berasal dari sukunya, ad-Dausî, yang bernama ath-Thufail
bin ‘Amr. Sejak
itu hingga wafat Nabi saw. (kira-kira empat tahun lebih) ia selalu mengabdikan
dirinya kepada Nabi saw. dan masuk dalam ahli Suffah. Sehingga ia dapat
mengumpulkan informasi yang aktual dan banyak dari langsung dari Nabi saw. [32]
Disebabkan
keislamannya yang terhitung belakangan, banyak ulama dan pakar baik Muslim atau
pun non Muslim mempertanyakan otentisitas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Selain itu, sebagaimana
telah disebutkan di atas, bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadis Nabi. Hal ini tentu menambah kecurigaan terhadap hadis-hadis
yang diriwayatkannya. Berbagai penilaian pun muncul kepermukaan menanggapi
permasalahan ini. Ahmad Amîn[33] misalnya
melihat bahwa sebagian sahabat seperti ‘Aisyah ra. dan Ibnu ‘Abbâs ra. mengkritik
serta menyatakan bahwa dalam riwayat Abu Hurairah terdapat kadzib(dusta)
dan meragukan kejujurannya, karena banyaknya jumlahriwayat yang ia hafal.
Pandangan ini sama dengan apa yang pernah di sampaikan Ignaz Goldziher (w. 1921
M)[34] yang
menyatakan bahwa banyaknya riwayat yang ia sampaikan dan hafalannya yang sangat
kuat menimbulkan keraguan di kalangan orang-orang (sahabat dan tabi‘în) yang
langsung mendengar darinya[35]. Bahkan Ab
Raiyyah dalam kitabnya Adhwâ’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah
menyebutkan bahwa Abu Hurairah ra. pernah berdusta atas nama Nabi dengan
sengaja. Menurutnya, sebagian besar hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah berasal dari sahabat yang lain, bukan ia dengar sendiri (mursal).
Selain itu, ia juga suka meriwayatkan hadis dengan maknanya (bi al-ma‘na)
bukan lafaznya yang kerap menimbulkan kesalahan dan permasalahan.[36]
Pendapat
lain, menyebutkan bahwa Abu Hurairah adalah seorang sahabat yang agung yang
memiliki kepedulian yang besar terhadap hadis Nabi saw. Hal ini terbukti dengan
banyaknya hadis yang beliau hafal dan ajarkan. Selain itu, setelah masuk Islam,
ia mengabdikan dirinya kepada Nabi saw. dan bergabung dengan ahlu ash-Shuffah.
sehingga ia mendapatkan berkah darinya yang tidak dimiliki oleh sahabat
lainnya. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama terkemuka seperti
asy-Syafi‘î, Abu Shâlih as-Sammân, dan Muhammad bin ‘Amru bin Hazm
[37].
Kedua
pandangan yang bertentangan di atas masing masing memiliki alasan dan fakta
yang kuat. Untuk mencari jalan tengah dari kedua pendapat tersebut dibutuhkan
terlebih dahulu untuk mendudukan permasalahan ini secara tepat. Adapun kekuatan
hafalan dan banyaknya riwayat Abu Hurairah ra, sebagaimana yang disinggung oleh
Ahmad Amîn dan Goldziher, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang aneh dan perlu
untuk dipertanyakan. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:
a.
Kebiasan atau tradisi
menghafal di kalangan bangsa Arab pada saat itu yang sangat kental. Menghafal
adalah suatu kebiasaan masyarakat Arab pada umumnya saat itu. Mereka terbiasa
menghafal sya‘ir-sya‘ir yang ditulis oleh penyair kondang seperti Umru’ al-Qais.
Terlepas dari itu, menghafal banyak riwayat hadis dari Nabi saw. bukanlah suatu
yang sulit, karena para sahabat langsung melihat prakteknya dari Nabi saw.
Sehingga lebih cepat melekat di benak dan lebih mudah menghafalnya.
b.
Waktu yang luang, hal ini merupakan
faktor lain yang memudahkan Abu Hurairah untuk menghafal dan mempelajari
hadis-hadis Nabi saw. menurut Ibnu Qutaibah (w. 376 H), bahwa Abu Hurairah ra.
tidak disibukkan dengan bertani atau berdagang di pasar. Oleh karena itu,
beliau dapat mengikuti jejak Nabi saw. kemana pun beliau pergi. Dengan
demikian, ia mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh sahabat yang lain,
dan menghafal apa-apa yang tidak mampu dihafal oleh yang lainnya karena
berbagai kesibukkan.[38]
c.
Sejak masuk Islam Abu Hurairah
bergabung dalam ahli Shuffah dan mengabdikan dirinya kepada Nabi saw. sehingga
ia selalu bersama-sama dengan Nabi saw. Kondisi ini juga sangat membantunya
untuk mengetahui dan menghafal banyak hadis.
d.
Selain itu, tidak semua hadis
yang disebutkan oleh Abu Hurairah langsung ia terima dari Nabi saw. akan tetapi
beberapa ia dengar dari sahabat yang lain (Mursal Shahâbî ).
Namun menurut ulama Hadisperiwayatan
seperti itu bukanlah pelanggaran.[39]
e.
Do‘a Nabi saw. agar dikuatkan
hafalannya. Abu Hurairah pernah mengadu kepada Nabi saw. atas kelemahan
hafalannya, maka ia minta agar dido‘akan untuk dikuatkan hafalannya, dan Nabi
pun mendo‘akannya sebagaimana dalam hadis berikut ini:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ
حَدِيْثاً كَثِيْرًا أَنْسَاهُ،
قَالَ: أُبْسُطْ رِدَاءَكَ!
فَبَسَطْتُهُ. قَالَ: فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ: ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ
فَمَا نَسِيْتُ شَيْئاً بَعْدَهُ * (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)[40]
Artinya:
dari Abu Hurairah berkata: “Wahai Rasulullah, aku mendengar banyak hadis
darimu, namun aku mudah sekali lupa. Rasulullah berkata:”Kembangkanlah
selempangmu!”maka akupun membentangkannya. Kemudian beliau mengambilnya dengan
kedua tangannya seraya berdo’a. sejak saat itu aku tidak pernah lagi lupa. (HR.
al-Bukhârî)
Faktor-faktor
tersebut sangat memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk mampu menghafal dan
menguasai hadis-hadis yang ia terima baik langsung dari Nabi ataupun dari
sahabat lainya. Selain itu, penggunaan kata “كذب فلان ” antara sahabat tidak
dapat difahami sebagai pendustaan atau penipuan, akan tetapi lebih menunjukkan
kepada kesalahan atau kekhilafan “ أخطأ فلان ”. Hal ini sesuai dengan keterangan ‘Aisyah yang menyatakan
bahwa: “Berdusta adalah suatu perbuatan yang sangat dibenci di kalangan
sahabat”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa berdusta dalam segala bentuk sangat
tidak disenang oleh para sahabat.[41] Jadi,
dapatlah diterjemahkan tuduhan telah berdusta yang dinyatakan oleh sahabat
terhadap Abu Hurairah sebagai bentuk koreksi atau sejenis teguran atas
kesalahan bukan tuduhan sengaja berdusta. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Abu Hurairah ra. mungkin saja salah dalam meriwayatkan hadis, apalagi
terkadang ia meriwayatkan hadis yang ia dengar dari sahabat lain. Namun, untuk
melakukan dusta dengan sengaja atas nama Nabi saw. merupakan jauh dari
kemungkinan dan tidak terbukti, disamping ia adalah orang yang pernah mu‘âyasyah
(hidup dan bergaul) bersama Nabi Muhammad saw.
Selain itu,
kritik lain yang dilontarkan oleh Abu Raiyyah terhadap kepribadian Abu Hurairah
ra adalah banyaknya perbedaan pendapat yang
pada namanya. Lebih lanjut ia mempertanyakan bagaimana mungkin seorang
yang masyhur dan terbanyak meriwayatkan hadis di kalangan sahabat tidak
diketahui nama sebenarnya. Kemudian ia menambahkan, pada dasarnya kefakiranlah
yang menyebabkan ia bergabung dalam ahli Shuffah dan mengabdi pada Nabi saw.
untuk menghidupi dirinya, bukan didasari atas keikhlasan.[42] Lebih jauh
ia memberikan gelar yang terkesan melecehkan sehingga menjatuhkan martabatnya
dengan memberinya gelar “Syeikh al-Madhîrah” (orang tua rakus terhadap
makanan yang bercampur susu dan daging).[43]
Menanggapi
kritikan ini, Syeikh Mushthafâ as-Sibâ‘î mengemukakan beberapa jawaban antara
lain; pertama, tidak diketahuinya nama asli seseorang tidaklah
menurunkan derajatnya dan tidak menjadikannya tidak diketahui sama sekali.
Sebagaimana perbedaan pendapat juga terjadi dalam nama sahabat selain Abu
Hurairah ra. Kedua, tidak diketahui nama Abu Hurairah secara pasti
disebabkan ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah yang diberikan Nabi
saw sehingga nama aslinya kurang dikenal, hal ini biasa terjadi di
tengah-tengah masyarakat Arab. Ketiga, sedangkan tuduhan berikutnya,
berkaitan dengan ahli Shuffah, menurut Mushthafâ as-Sibâ‘î tuduhan itu tidak
memiliki dalil yang kuat, hanya merupakan dugaan semata. Selanjutnya Mushthafâ
menyatakan bahwa dugaan seperti itu muncul dari orang-orang yang tidak takut
pada siksa Allah swt. Bahkan ia tidak malu karena mempermasalahkan kefakiran
seorang sahabat, seakan-akan kemiskinan ‘aib
dan kekayaan merupakan kemuliaan, sehingga kemuliaan seseorang diukur dari
banyak hartanya.[44]
Permasalahan
lain yang terkadang menimbulkan banyak perdebatan adalah di antara sahabat yang
terkemuka seperti khulafâ’ ar-râsyidîn hanya sedikit sekali ditemukan
riwayatnya apabila dibandingkan dengan riwayat Abu Hurairah. Abu Bakr ra.
misalnya, Adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi saw. namun beliau hanya
meriwayatkan sebanyak 142 hadis. Hal ini dapat dijawab, karena beliau wafat
berdekatan dengan masa Nabi saw. menyebabkan ia tidak sempat untuk banyak
mengajarkan hadis di tengah-tengah umat Islam sehingga hadisnya banyak dihafal.[45] Faktor lain
adalah kesibukannya dalam urusan umat Islam pada saat itu. Sebagai khalifah
yang dibebani amanah, waktu Abu Bakr lebih banyak terkuras pada masalah
kenegaraan. Beberapa sahabat yang lain seperti Abu Hurairah ra, ‘Abdullâh bin ‘Umar
ra dan Anas bin Mâlik ra tidaklah demikian halnya. Mereka selalu menyibukkan
diri dengan menghafal dan mempelajari Hadis-hadis Nabi saw. dikarenakan mereka
tidak mengurusi masalah pemerintahan.[46]
Demikianlah
beberapa kritikan yang dilontarkan atas Abu Hurairah ra. dari berbagai
kalangan. Menurut Ali Musthafa Yaqub usaha yang muncul dari sebagian orang
terhadap untuk melunturkan kredibilitas Abu Hurairah ra. adalah usaha untuk
menolak sejumlah besar hadis Nabi saw. karena beliau adalah sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadis.[47] Apabila
diperhatikan kritikan-kritikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sumber
kritikan itu ada tiga hal: pertama, tidak faham atau tidak mau faham
tentang kandungan al-Qur’ân dan Sunnah Nabi saw, sehingga kegelapan menyelimuti
hati nurani mereka. Kedua, kurang teliti dalam melihat sejarah kehidupan
para sahabat Nabi saw. Ketiga, buruk sangka terhadap para sahabat atau
mungkin lebih tepat kekeliruan, sehingga apa yang telah mereka upayakan hilang
dan musnah, seakan-akan tak berharga sedikitpun.
H. Kesimpulan
Sahabat
adalah generasi pertama yang menerima dan menyaksikan langsung sabda-sabda nabi
Muhammad saw. Layaknya sebagai manusia, mereka memiliki pandangan hidup dan
keinginan tersendiri, sehingga tidak terlepas dari kesalahan dan kealpaan.
Sifat ‘âdil yang melekat pada mereka tidak berarti bahwa mereka ma’sum
atau bebas dari dosa. Hanya saja perlu dicatat bahwa, mereka tidak pernah
dengan sengaja berdusta dalam proses periwayatan hadis. Inilah yang dimaksud
sebagai generasi yang terbaik diwariskan Nabi saw kepada generasi selanjutnya.
Adapun kritik
yang dilontarkan terhadap para sahabat oleh sejumlah aliran, menunjukkan bahwa
kajian tentang sahabat sangat penting dan dibahas setiap generasi. Sorotan yang
khusus diarahkan terhadap Abu Hurairah ra juga sangat bervariasi. Sebagian
ulama melihatnya sebagai sosok pendusta dan pemalas, sementara sebagian lain
mengagungkannya sebagai tokoh pertama yang memperjuangkan penyebaran hadis Nabi
saw. Namun, pendapat ‘Ajjâj al-Khatîb merupakan jalan tengah dari kedua
pendapat yang sangat berseberangan tersebut. ‘Ajâj berpendapat bahwa sahabat
yang dapat diterima riwayatnya adalah para sahabat yang mu‘âyasyah
(hidup) bersama Nabi saw. Sehingga kepribadiannya tertempa dan loyalitasnya
terhadap Islam terjamin sudah, dan unsur-unsur tersebut ada pada Abu Hurairah.
Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama sebagai mana yang dipaparkan oleh
Syeikh Mushthafâ as-Sibâ‘î.
DAFTAR PUSTAKA
Âbâd, Muhammad Syams al-Haq
al-‘Azhîm, ‘Aun al-Ma’bûd syarah sunan Abî
Dâwûd, cet II
(Beirut: Dâr Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1995)
Âbâdî, Al-Fairz, al-Qâmûs
al-Muhîth, cet V, (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1996)
Abu Raiyyah,
Mahmud, Adhwâ’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, (Mesir: Dâr
al-Ma‘ârif, ttp)
Adz-Dzahabî, Muhammad bin
Ahmad Al-Imam, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, cet XI, (Beirut: Muassasah
ar-Risâlah, 1996)
Akram Diyâ’ al-‘Umarî, Buhûts fî Târîkh
as-Sunnah al-Musyarrafah, cet IV, (al-Madînah al-Munawwarah: Maktabah ‘Ulûm
wa al-Hikam, 1984).
Al- Gazâlî, Ab Hâmid, al-Musthashfâ
fî ‘Ilmi al-Ushl, cet I, (Beirut, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1993)
Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar,
al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, , cet I, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995)
Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar, Fath
al-Bârî bi Syarhi Shahîh al-Bukhârî, cet II, (Kairo,
Dâr ar-Rayyân, 1988)
Al-‘Izzî, ‘Abd al-Mun’im
al-‘Alî, Difâ‘ ‘an Abî Hurairah, (Beirut:Dâr al-Qalam, 1981)
Al-A’zhamî, Muhammad Diyâ’ ar-Rahmân,
Dirâsât fî al-Jarah wa at-Ta’dîl, cet I, (Beirut: Maktabah
al-Gurabâ’ al-Atsariyyah, 1995)
Al-A’zhamî, Muhammad Mushthafâ, Manhaj
an-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn, cet III, (Maktabah al-Kautsar, 1990)
Al-Andalûsî, ‘Ali bin Ahmad
bin Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmîyyah, ttp)
Al-Bagdâdî, Abu
Bakr Ahmad bin ‘Ali al-Khathîb, al-Kifâyah fî ‘Ilmi ar-Riwâyah, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Arabî, ttp)
Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj,
Abu Hurairah Râwiyah al-Islâm, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Âmmah li
al-Kitâb, 1987)
Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, as-Sunnah
Qabla at-Tadwîn, cet V, (Dâr
al-Fikr, Beirut, 1981)
Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Memahami
Ilmu Hadis; telaah metodologi dan literatur Hadis, penerjemah: Has Manadi,
(Jakarta: Lentera Basritama, 2003)
Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl
al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Mushthalâhuhu, cet III, (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1975)
Al-Mishrî, Jamâl ad-Dîn
Muhammad bin Manzhûr al-Ifrîqî, Lisân al-‘Arab, cet I, (Beirut:
Dâr Shâdir, 1955)
Al-Mubârakpûri, Muhammad ‘Abd
ar-Rahmân, Tuhfah al-Ahwazî syarah Jâmi’ at-Tirmidzî, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, ttp)
Al-Wama, Mahrus, Studi Kritik Hadits Nabi saw:
Metodologi Penelitian Hadits, alamat internet:
http://www.fahminacirebon.com
Amîn, Ahmad, Fajr al-Islâm,
cet VII, (Kairo: an-Nahdhah
al-Mishriyyah, 1959)
An-Nawawî, Yahya bin Syaraf, al
-Minhâj bi Syarhi Shahîh Muslim bin al-Hajjâj
(yang lebih dikenal dengan sebutan
Syarah Shahîh Muslim), cet I, (Beirut, Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995)
Ash-Shiddiqiey, T.M. Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis, cet IV, (Semarang: PT Pustaka Rezeki Putra, 1999)
As-Sakhâwî, Muhammad bin ‘Abd
ar-Rahmân, Fath al-Mugîts bi Syarhi Alfiyati al-Hadîts
li al-‘Irâqî, (Kairo: Maktabah as-Sunnah, 1995)
As-Shâlih,Shubhî,
‘Ulum al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, cet I, (Beirut: Dâr
al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1959)
As-Sibâ’î, Mushthafâ, as-Sunnah wa
Makânatuhâ fî at-Tasyrî’ al-Islâmî, cet
IV, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1985)
As-Suyûtî, Jalâl ad-Dîn ‘Abd
ar-Rahmân bin Abî Bakr, Tadrîb ar-Rawi fî Syarhi Taqrîb
an-Nawawî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979)
Ath-Thahhân,
Mahmûd, Taisîr Mushthalah al-Hadîts, cet VIII,
(ar-Riyâdh: Maktabah al-Ma‘ârif, 1987)
Ibnu Katsîr, Ab al-Fidâ’, al-Bâ’its
al-Hatsîts Syarah Iktishâr ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1994)
Juynboll, G.H.A.,
The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Mosern Egypt,
Edisi Indonesia: Kontroversi Hadis di Mesir, penerjemah Ilyas Hasan,
Mizan, Bandung, 1999, cet I
Sulthân, Mullâ
‘Ali al-Qârî ‘Ali bin, Syarah
Syarah Nukhbah al-Fikar fî Mushthalahât Ahli al-Atsar,
Syirkah Dâr al-Aqram bin Abî al-Aqram, Beirut, ttp
Ya‘qub,
‘Ali Mustafa, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, cet III.
*Dosen Hadis Ahkam Fakultas Syariah IAIN SU/Dosen
Jurusan Syari’ah STAIN Langsa
[1] Al-Imam
asy-Syaukani Muhammad bin ‘Ali (w. 1250 H) Irsyâd al-Fuhûl, (Beirut;
Maktabah Mushthafa al-Halabî, ttp) h. 33
[2] Pembukuan
Hadis sudah dimulai pada masa Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al- ‘Azîz (w. 101 H) dari
dinasti Bani Umaiyah, akan tetapi‘ulm al-hadîts baru muncul
sebagai sebuah disiplin ilmu pada abad ke- 4 H, ditandai dengan munculnya buku
“al-Muhaddits al-Fâshil Baina ar-Râwî wa al-Wâ‘î ” karya
ar-Ramahurmuzî Ab Muhammad al-Hasan bin ‘Abd ar-Rahmân (w. 360 H).
Lihat Mullâ ‘Ali al-Qârî ‘Ali bin
Sulthân (w. 1014 H), Syarah
Syarah Nukhbah al-Fikar fî Mushthalahât Ahli al-Atsar,
Syirkah Dâr al-Arqam bin Abî al-Arqam, Beirut, ttp, hlm. 137. Lihat juga Mahmud
ath-°ahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadîts, Maktabah
al-Ma‘ârif, ar-Riyâdh, 1987, cet VIII, h. 11.
[3] Lihat
as-Suythî Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abî Bakr (w. 911 H), (kemudian
disebut as-Suythî), Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawiy, Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1979, cet. II, Jld. I, h. 40.
[4] Muhammad
Musthafa al-A’zami, Memahami Ilmu Hadis; telaah metodologi dan literatur
Hadis, penerj: Has Manadi, (Penerbit Lentera Basritama: Jakarta; 2003), h. 71
[5] Lihat Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî (w. 852 H), (kemudian disebut Ibnu Hajar), Fath
al-Bârî bi Syarhi Shahîh al-Bukhârî, Dâr ar-Rayyân, Kairo, 1988, cet. II, Jld.
VII, h. 259
[7] Mahrus
el-Wama, Studi Kritik Hadits Nabi saw: Metodologi Penelitian Hadits,
alamat internet: http://www.fahminacirebon.com
[8] Lihat Jamâl
ad-Dîn Muhammad bin Manzhr al-Ifrîqî al-Mishrî (w. 771 H), (kemudian disebut
Ibnu Manzhr), Lisân al-‘Arab, Dâr Shâdir, Beirut, 1955, cet. I, Jld. I,
h. 519. Lihat juga al- Fairz Âbâdî (w. 817 H), al-Qâms al-Muhîth,
Muassasah ar-Risâlah, Beirut, 1996, cet. V, h.134.
[9] Lihat Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî (w. 852 H), (kemudian disebut Ibnu Hajar), Fath
al-Bârî bi Syarhi Shahîh al-Bukhârî, Dâr ar-Rayyân, Kairo, 1988, cet. II, Jld.
VII, h. 5.
[10] Lihat Abu
Bakr Ahmad Bin ‘Ali al-Khathîb al-Bagdâdî (w. 463 H), (kemudian disebut
al-Khathîb al-Bagdâdî), al-Kifâyah fî ‘Ilmi ar-Riwâyah, Dâr al-Kutub
al-‘Arabî, Beirut, 1985, cet. I, h. 69.
[11] Lihat Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmân
as-Sakhâwî (w. 902 H), (kemudian disebut as-Sakhâwî), Fath al-Mugîts
bi Syarhi Alfiyati al-Hadîts li al-‘Irâqî, Maktabah
as-Sunnah, Kairo, 1995, cet I, Jld. IV, h. 84.
[12] Lihat ‘Ali
bin Ahmad bin Hazm al-Andalûsî (w. 456 H), al-Ihkâm fî Ushûl
al-Ahkâm, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmîyyah, Beirut, ttp, Jld. II, h. 86.
[13] Lihat al-Khathîb al-Bagdâdî, loc. cit.
[14] Lihat T.M.
Hasbi Ash Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, PT Pustaka
Rezeki Putra, Semarang, 1999,h. 238.
[15] Terminologi
ini dikenal di kalangan ulama hadis, menurut mereka al-Mukhadhram tidak termasuk dalam kategori sahabat Nabi
saw. seperti: Abu Muslim al-Khaulânî, Sa‘ad bin Iyas asy-Syaibânî, al-Aswad bin
Yazid an-Nakh‘î, Subail bin ‘Auf al-Ahmasî. Lihat as-Suyûthî (w. 911 H),
op. cit, Jld. II, h. 238. Lihat juga
Mullâ ‘Ali al-Qârî ‘Ali bin Sulthân (w. 1014 H), op. cit, h. 598.
[16] Lihat T.M.
Hasbi Ash Shiddiqiey, Ibid.
[17] Lihat Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî (w. 852 H), al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, Dâr
al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995, cet. I, Jld. I, h. 158.
[18] Lihat Ibnu
Manzhur (w.771H), op. cit, Jld. XI, h. 430. Lihat juga al-Fairuz Âbâdî
(w. 817 H), op. cit, h. 1331.
[19] Defenisi ini
sangat berkaitan erat dengan syurth ada’ al-hadîts yang dibahas
dalam kajian Mushthalah al-Hadîts. Dengan demikian
defenisi di atas tidak bertentangan dengan pengertian sahabat itu sendiri
sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu. Lihat Shubhî Shâlih,
op. cit, h.126. Lihat juga Muhammad Mushthafâ al-A’zhamî
(kemudian disebut M.M. al-A’zhamî), Manhaj an-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn,
Maktabah al-Kautsar, 1990, cet III, h. 25. Lihat juga as-Suyuthî (w.911 H), op. cit, Jld. I, h. 300.
Adapun menurut kalangan ulama usul fikih, antara lain al-Gazâlî berpendapat
bahwa al-‘adâlah merupakan sikap konsekwen seorang Muslim dalam
menjalankan tuntunan agamanya, sehingga tercermin pada dirinya sifat taqwa dan
bermoral yang baik. Dengan demikian orang lain mempercayainya sebagai orang
yang jujur. Lihat al-Musthashfâ fî ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut, 1993, cet I, h. 125.
[20]Ibid. Lihat
juga Muhammad Diyâ’ ar-Rahmân
al-A‘zhamî, Dirâsât fî al-Jarah wa at-Ta’dîl, Maktabah
al-Gurabâ’ al-Atsariyyah, 1995, cet I, h. 227.
[21] Lihat Ibnu
Katsîr, Abu al-Fidâ’ (w. 774 H), al-Bâ‘its al-Hatsîts Syarah
Iktishâr ‘Ulûm al-Hadîts, Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1994,
cet IV, h.177.
[22] Lihat
Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ab Hurairah Râwiyah al-Islâm, al-Hai’ah
al-Mishriyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, Mesir, 1987, hlm: 34. Lihat juga M.M.
al-A‘zhamî, Manhaj an-Naqd.., hlm: 105.
[23] Lihat Yahya bin Syaraf an-Nawawî (w. 677
H),(kemudian disebut an-Nawawî), al-Minhâj bi Syarhi Shahîh
Muslim bin al-Hajjâj (yang
lebih dikenal dengan sebutan Syarah Shahîh Muslim), Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1995, cet I, Jld. XVI, h.75. Kitâb Fadhâil
ash-Shahâbah ; Bâb Tahrim Sabbu ash-Shahâbah.
[24] Antara lain
pesan beliau yang terekam adalah : عن أبي بردة عن
أبيه (في حديث طويل) قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم النجوم أمنة للسماء فإذا
ذهبت النجوم أتى السماء ما توعد وأنا أمنة لأصحابي فإذا ذهبت أتى أصحابي ما يوعدون
وأصحابي أمنة لأمتي فإذا ذهب أصحابي أتى أمتي ما يوعدون * رواه مسلم. Ibid., Kitâb
Fadhâil ash-Shahâbah; Bâb Bayân anna Baqâ an-Nabi…
[25] Lihat al-Khatîb al-Bagdadî (w. 463 H), op.
cit, h. 67.
[26] Lihat Ibnu Hajar
(w. 852 H), Fath al-Bârî..., op. cit, Jld. III, h. 191,
Kitâb al-Janâiz; Bâb Ma yukrahu..., dan lihat an-Nawawî (w. 677 H), al-Minhâj...,
op. cit, Jld. XVII, h. 101. Kitâb az-Zuhd wa ar-Raqâiq; Bâb at-Tatsabbut fî
al-Hadîts...
[27] Penyataan ini
disebutkannya ketika ia tidak ikut dalam perang Tabuk tersebut, sebagaimana
diriwayatkan oleh al- Bukhârî dalam Shahîhnya. Lihat Ibnu Hajar
(w. 852 H), Fath al-Bârî..., op. cit, Jld. VII, h. 717. Kitâb
al-Magâzî; Bâb Hadîts Ka’ab bin Mâlik.
[28] Lihat Ibnu
Katsîr (w. 774 H), op. cit, h. 180, juga
as-Sakhâwî (w. 902 H), op. cit, h. 109.
[29] Lihat ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts…,
op. cit, h. 403-404.
[30] Sayyid Abd
al-Majid al-Ghauri, Madkhal ila ‘Ulum al-Hadîts, (Damaskus: Dar
Ibnu katsir, 2009), h. 359
[31] Lihat al-Imam
adz-Dzahabî Muhammad bin Ahmad (w. 748 H), Siyar A’lâm
an-Nubalâ’,
Muassasah ar-Risâlah, Beirut, 1996, cet XI, Jld. II, h. 578. Lihat juga Ibnu Hajar (w. 852 H), al-Ishâbah..., op. cit, Jld. VII, h. 348.
[32] Lihat
Mushthafâ as-Sibâ‘î, as-Sunnah wa Makânatuhâ fî at-Tasyrî‘ al-Islâmî, al-Maktab
al-Islâmî, Beirut, 1985, cet IV, h. 292.
[33] Lihat Ahmad
Amîn, Fajr al-Islâm, an-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1959, cet VII, h.
218.
[34] Dia adalah
seorang orientalis berkebangsaan Hungaria yang dilahirkan dari keluarga
Yahudi pada tahun 1850 M. Goldziher
pernah belajar dengan Syeik °âhir al-Jazâirî di Syiria dan sejumlah ulama
al-Azhar di Mesir. Ia meninggal pada tahun 1921 M. Karya tulisnya yang berjudul
“Muhammadanische studien ” adalah buku rujukan utama dalam kajian Hadis
di Barat. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 2000, cet III, h.14.
[35] Lihat
Mushthafâ as-Sibâ‘î, loc. cit. Lihat juga M.M. al-A‘zhamî, Manhaj
an-Naq..., op. cit, h. 103. ‘Ajjâj
al-Khathîb, as-Sunnah Qabla..., op. cit. h. 447.
[36] Lihat Mahmud
AbuRaiyyah, Adhwâ’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Dâr
al-Ma‘ârif, Mesir, ttp, h. 216. Lihat
juga ‘Ajjâj al-Khathîb, as-Sunnah Qabla..., Ibid, dan juga Mushthafâ
as-Sibâ‘î, Ibid.
[38] Lihat Ibnu
Qutaibah, Abu Muhammad ‘Abd Allâh bin Muslim (w. 376 H), Ta’wîl Mukhtalaf
al-Hadîts, Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, ttp, h. 41.
[39] Lihat Shubhî
as-Shâlih, op. cit, h. 360.
[40]Lihat Ibnu Hajar
(w. 852 H), Fath al-Bârî..., op. cit, jld. I, h. 259. Kitâb
al-‘Ilm; Bâb Hifzhu al-‘Ilmi.
[42] Lihat Mahmud
Abu Raiyyah, op. cit, h. 197.
[43] Lihat G.H.A.
Juynboll, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Mosern
Egypt, Edisi Indonesia: Kontroversi Hadis di Mesir, penerjemah Ilyas
Hasan, Penerbit Mizan, Bandung, 1999, cet I, h. 95
[44] Lihat Mushthafâ as-Sibâ‘î, ibid.
[45] Lihat
as-Suyûthî (w. 911 H) , op. cit, h. 218.
[46] Lihat ‘Ajjâj
al-Khathîb, Abu Hurairah...,op. cit, h. 130-136. Lihat juga T.M. Hasbi
Ash Shiddiqiey, op. cit, h. 245.
[47] Lihat Ali
Mustafa Yaqub, op. cit, h. 110
Follow us...
BalasHapus